Keluar kentut dari pantat kok yang
dibasuh adalah wajah? Kok tidak masuk akal ya syariat Islam ini?
Dalam kajian fikih, di antara yang
dapat membatalkan wudu adalah keluarnya angin dari jalan belakang atau yang
disebut dengan kentut. Maka jika ada orang sudah berwudu lalu kentut, maka
wudunya batal. Harus berwudu lagi jika ingin salat.
Hikmah Kentut Batal Wudu/ istockphoto.com |
Lalu, apa hikmah kentut bisa
membatalkan wudu? Setidaknya ada tiga poin mengenai hikmah kentut dapat
membatalkan wudu.
1. Agar kita banyak pahala dengan berwudu
Berwudu adalah ibadah. Ketika kita
keluar angin dari jalan belakang, lalu kita berwudu, maka kita beribadah. Sebab
dengan berwudu, kita mengikuti ajaran yang diajarkan oleh Rasulullah saw., sang
pembawa syariat dari Allah.
Oleh karenanya, semakin banyak
berwudu, semakin banyak ibadahnya. Semakin banyak ibadahnya, semakin banyak
pahalanya.
Penjelasan ini bisa disebut dengan
istilah ta’abbudi. Maksudnya, kentut dapat membatalkan wudu itu murni
karena agar kita beribadah dan taat kepada Allah. Jadi, tidak perlu dicari
alasannya atau hikmahnya secara rasional.
Jadi, tidak ada istilah masuk akal
atau tidak masuk dalam hal ini. Karena tujuannya adalah taat pada perintah
Allah.
Terlebih, Allah menysariatkan wudu
karena banyak manfaatnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Jaziri dalam
Fiqh Madzahib al-Arba’ah:
لأن الواقع أن الله قد شرع الوضوء لمنافع كثيرة : منها ما هو محس مشاهد من تنظيف الأعضاء
الظاهرة المعروضة للأقذار خصوصا الفم
والأنف . ومنها ما هو معنوي : وهو الامتثال والخضوع لله عز و جل فيشعر المرء بعظمة
خالقه دائما فينتهي عن الفحشاء والمنكر
وذلك خير له في الدنيا والآخرة فإذا كان الوضوء لا ينتقض فقد ضاعت مشروعيته وضاعت فائدته
“Allah men-syariatkan wudu karena
banyak manfaat. Di antaranya, manfaat yang bisa dilihat dengan mata, yaitu
membersihkan anggota tubuh yang rawan kotor, khususnya mulut dan hidung. Di
antaranya manfaat maknawi. Yaitu, mengikuti perintah dan khusyuk pada Allah
swt..
“Lalu, (dengan berwudu) seseorang akan
selalu merasakan keagungan Pencipta, sehingga menjauhi sesutu yang keji dan
munkar. Hal itu adalah kebaikan baginya untuk dunia dan akhirnya. Jika tidak
ada hal yang membatalkan wudu, maka hilanglah faedah disyariatkannya.”
2. Unutk bersyukur
Ketika kita mengeluarkan angin dari
jalan belakang, maka sebenarnya kita telah mengeluarkan penyakit. Penyakitpun
hilang dari kita. Coba kita bayangkan, andaikan kita tidak bisa kentut, betapa
sakit dan mahalnya untuk berobat, bahkan bisa jadi harus oprasi.
Maka, sebagaimana pendapat Syaikh Ali
Ahmad al-Jurjawi dalam kitab Hikmatut Tasyri’ Wa Falasafatuh, ketika
kita mengeluarkan kentut kemudian kita berwudu, maka wudu’ itu berposisi
sebagai rasa syukur kepada Allah. Bersyukur karena Allah telah menghilangkan
penyakit dari kita.
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama,
bersyukur itu dengan tiga hal; yaitu mengucapkan alhamdulillah dengan lisan,
mengakui dan mahami bahwa nikmat yang kita dapatkan dari Allah, serta menggunakan
nikmat yang diberikan oleh Allah dengan sebaik-baiknya, yakni dengan beribadah
dan memperbanyak pahala.
Itulah hikmah kentut dapat membatalkan wudu yang kedua.
3. Tidak kentut di saat berjamaah
Syaikh al-Qaradawi menjelaskan dalam Fiqh
at-Thaharah, bahwa hikmah kentut dapat membatlkan wudu agar orang-orang
tidak kentut saat berjamaah.
Syariat Islam sangat suka pada
kebersihan, wangi-wangian, dan kesucian. Oleh karenanya, dalam Islam disunahkan
mandi ketika kita ingin berkumpul dengan orang-orang agar kita tidak bau.
Misalnya ketika kita hendak salat Jumat, maka disunahkan mandi Jumat.
Intinya, ketika kita berkumpul dengan
orang, usahakan bersih, harum, dan tidak bau.
Nah, ketika kentut dapat membatalkan
wudu, maka tidak akan ada orang yang berjmaah akan kentut. Karena kentut dapat
membatalkan wudu, kalau wudunya batal maka salatnya juga batal.
Coba bayangkan, jika kentut tidak
membatalkan wudu, bisa saja ada jamaah yang kentut. Tentu, kentut apa lagi kentut
yang berbau bisa menyebabkan orang lain tidak nyaman dan tidak khusyuk dalam
salat.
Itulah hikmah kentut dalam membatalkan
wudu yang dijelaskan oleh para ulama! Wallahu A’lam.
Posting Komentar