Alhamdulillah, beberapa hari lalu, kita merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-76. Kita bersyukur atas anugerah yang luar biasa dari Allah yang Maha Kuasa. Tentunya, perayaan kemerdekaan bukan hanya sekedar seremonial. Harus ada ‘ruh’ kemerdekaan yang kembali kita refresh. Selanjutnya kita tanamkan kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagi saya, perayaan hari kemerdekaan pada tahun ini sangat istimewa. Karena bersamaan dengan awal tahun baru hijriah. Yaitu sebuah kalender yang dimulai dari hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Subtansi dari hijrah nabi tersebut adalah meninggalkan ‘keterbelengguan’ menuju ‘kemerdekaan’.
Opini Hari Kemerdekaan | today.line.me/ |
Ya, setelah Rasulullah
berada di Madinah, Rasulullah merdeka. Beliau bebas mengajarkan agama. Beliau
bebas menata kehidupan dunia umatnya agar lebih sejahtera. Tidak seperti saat
di Makah yang menghadapi teror setiap saat. Tidak hanya dalam keagamaan, hidup
dengan layak pun tak beliau dapatkan.
Ada dua hal yang
Rasulullah lakukan setelah benar-benar merdeka. Pertama, beliau membangun
masjid di Madinah. Masjid ini menjadi pusat kegiatan keislaman. Terutama dalam
mengasah spiritualitas umat. Itu artinya, spiritualitas seorang hamba sangat
penting dalam kehidupan. Spiritualitas akan menghiasi hati. Ketika hati menjadi
baik, baik pulalah aktivitas yang dilakukan raga.
Kedua, Rasulullah memupuk
persaudaraan antar umat. Sahabat Muhajirin (orang Makkah yang ikut hijrah ke Madinah)
dipersaudarakan dengan sahabat Anshor (penduduk asli Madinah). Dari
persaudaraan itu, umat saling membantu. Orang Islam yang tidak punya
siapa-siapa, jadi punya keluarga. Orang Islam yang tidak punya apa-apa, jadi
punya apa-apa. Setidaknya untuk modal berniaga.
Dari dua hal tersebut
(tidak menafikan faktor lain), berdirilah negara Madinah. Sedikit demi sedikit
semakin makmur. Bahkan siapa sangka, dalam beberapa tahun kemudian, Kota Makkahpun
kalah. Makkah menjadi bagian dari negara yang dipimpinan Rasulullah. Setelah
Rasulullah wafat, negara itu semakin luas sampai ke Persia, Syam, bahkan bagian
selatan Afrika. Ya, berkat spiritualitas dan persaudaraan.
Ruh kemerdekaan yang
dibangun oleh Rasulullah juga kita temukan di negara tercinta, kita kenal
dengan Pancasila. Falsafah negara yang mendapat sentuhan-sentuhan religiusitas
ulama itu seperti atap rumah. Di bawah atap itu ada berbagai orang dengan latar
belakang yang bermacam-macam.
Di bawah Pancasila, kita
bisa melawan penjajahan. Di bawah Pancasila, syukur Alhamdulillah, bangsa
Indonesia dengan segala tradisi sosial dan keagamaannya masih bisa bergandengan
tangan sampai sekarang.
Nah, di hari peringatan
kemerdekaan ini, kita perlu diam sejenak. Lalu bertanya pada hati kita yang
terdalam, mampukah kita merawat Pancasila? Bisakah kita mengamalkan amanat
Pancasila? Mampukah kita menjaga ruh kemerdekaan ini? Jika dulu Bapak-Bapak
bangsa bisa merdeka dari penjajahan, bisakah kita juga merdeka dari masalah yang
silih bergantian?
Saya mengamini ungkapan
Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan
kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Ungkapan ini
mengajarkan kepada kita bahwa di setiap masa ada problemnya. Problem di masa
Bung Karno adalah penjajahan dari bangsa lain. Tapi, di masa kita sekarang,
problem itu lahir dari saudara kita sebangsa. Bahkan bisa jadi dari diri kita
sendiri. Karenanya, perjuangan kita lebih berat, karena harus berhadapan dengan
saudara atau diri sendiri.
Tapi, saya tetap optimis,
di setiap generasi pasti ada penerus perjuangan. Mereka mampu menyelesaikan
setiap tantangan hidup. Teringat sebuah kalam hikmah dari sahabat Nabi, Auf bin
Malik. Kalam hikmah ini dikutip oleh Imam as-Sakhawi dalam al-Maqashid
al-Hasanah. Sayidina Auf berkata,
إن لكل زمان رجالا فخيارهم
الذين يرجى خيرهم ولا يخاف شرهم وشرارهم يغنى بضدهم
“Setiap zaman memiliki
tokoh. Sebaik-baiknya tokoh adalah mereka yang diharapkan kebaikannya dan tidak
ditakuti keburukannya. Sedangkan sejelek-jelek mereka adalah sebaliknya.”
Ya, di setiap zaman pasti
lahir tokoh-tokoh. Tokoh-tokoh terbaik adalah mereka yang diharapkan melakukan
kebaikan dan tidak dihawatirkan melakukan kejahatan.
Jika dulu para kiai
mengangkat senjata untuk merebut kemerdekaan, di masa sekarang akan ada
santri-santri yang terjun ke dunia internet. Di sana mereka meluruskan faham
keislaman yang bisa melahirkan kekerasan.
Jika dulu ada Sultan Syarif
Kasim II dari Riau yang menyumbang 13 Juta Gulden Belanda (sekitar 1000
Triliun) untuk membantu kemerdekaan, sekarang akan ada pemuda yang tak kalah
keren. Dia dengan sentuhan kreatifnya bisa mengurangi jumlah pengangguran.
Paling tidak untuk dirinya.
Jika dulu ada Bung Karno
yang membaca proklamasi kemerdekaan, sekarang pun akan lahir pemimpin yang
menyejahterakan.
Namun demikian, pasti
sulit mewujudkan. Malah, kemerdekaan Indonesia kadang menjadi merdeka tertawa
di atas tangisan bangsa. Misalnya, masih ada orang kaya yang mencuri bansos milik
orang miskin. Ya begitulah.
Baca juga:
Tapi, setidaknya ada
harapan. Dimulai dari komponen bangsa paling kecil, yaitu diri kita sendiri.
Ketika kita baik, maka orang sekitar kita akan merasakan hal yang baik-baik.
Sebagaimana nasihat BJ. Habibie, “Jadilah mata air yang jernih yang memberikan
kehidupan kepada sekitarmu.”
Maka merdekalah! Merdeka untuk
menebar kejernihan. Menjadi tokoh-tokoh zaman yang diharapkan. Dengan bekal
spiritualitas dan kebersamaan. Satu hal yang perlu kita ingat, tidak ada
kemerdekaan yang didapat tanpa perjuangan. Lalu, kitakah yang akan menjadi anak
zaman yang diharapkan?
Posting Komentar