Kisah
Masuk Islamnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah
Sahabat Abu Ubaidah bin
al-Jarrah masuk Islam sebelum Rasulullah saw. masuk ke rumah Arqam bin Abi
Arqam. Dia masuk Islam bersama lima sahabat yang lain.
Waktu itu, Ibnu Madz’un,
Ubaidah bin Harist, Abdurrahman bin Auf, Abu Salamah bin Abdul Asad dan Abu
Ubaidah bin al-Jarrah pergi menuju Rasulullah saw.. Rasulullah pun menawarkan
pada mereka agar masuk Islam.
layar.news |
Beliau juga menceritakan
syari’at-syari’at yang diturunkan kepada beliau. Tanpa pikir panjang, mereka
semua langsung masuk Islam[1].
Begitulah kisah masuk
Islamnya Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dalam tulisan “Biografi Abu Ubaidah
bin Al-Jarrah” ini.
Nasab
Dan Kun’yah Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah
Dia adalah ‘Amir bin
Abdullah bin al-Jarrah bin Hilal bin Uhaib bin Dhabbah bin al-Harits bin Fihr
bin Malik bin Nadhar bin Kinanah al-Qursyi al-al-Fihri. Nasabnya bersambung
dengan nabi di kakek yang bernama Fihr.
Adapun ibunya adalah
Umaimah binti Ghanam bin Jabir bin Abdul Uzza bin Amirah bin Umairah[2]. Di kemudian hari, Amir
bin Abdullah bin al-Jarrah berku’nyah Abu Ubaidah. Dan, dengan kun’yah inilah
dia dikenal oleh masyarakat.
Sahabat Abu Ubaidah bin
Al-Jarrah memiliki dua anak, Yazin dan Umair. Namun mereka berdua wafat ketika
masih kecil. Oleh karena itu, Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah tidak memiliki keturunan.
Itulah nama Sahabat Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah dalam “Biografi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah” ini.
Sahabat
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Terpaksa Membunuh Ayah Sendiri
Ternyata, ada kisah
mengharukan dalam “Biografi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah” ini. Yaitu, ketika harus
membunuh ayah sendiri. Ceritanya begini:
Sebelum Islam datang, orang
Arab bangga-banggaan dengan nasabnya. Mereka merasa mulia jika nenek moyang mereka
mulia. Ketika Islam datang, fanatisme itu dikikis habis.
Islam mengajarkan
derajat manusia hanya dinilai dari takwanya kepada Allah saw.. Jika bertakwa
maka mulia dan sebalilknya.
Maka tak heran, ketika
perang Badar meletus, para sahabat harus berhadapan dengan sanak keluarganya. Mereka
saling membunuh: anak membunuh ayah, saudara membunuh saudara dan setersunya.
Di antara sahabat yang
terpaksa mengayunkan pedang untuk ayahnya sendiri adalah Sahabat Abu Ubaidah
bin Al-Jarrah. Pengalaman teragis itu terjadi pada perang Badar.
Waktu itu, Abdullah bin al-Jarrah,
ayah Abu Ubaidah berangkat dari Makkah untuk menyerang muslimin. Muslimin pun
bersiap-siap untuk menghadapi mereka.
Kedua kubu pun bertemu di
Badar dan terjadi peperangan dahsyat. Pada perang itu, Abdullah mencari
anaknya, Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk dibunuh.
Tapi, Sahabat Abu Ubaidah
bin Al-Jarrah berusaha menghindar. Hatinya tidak kuat jika harus membunuh ayah
sendiri. Dia tidak tega menebaskan pedang tajam pada orang yang telah
mengasihininya sejak kecil.
Sungguh, biar
bagaimanapun Abdullah adalah ayahnya. Seorang yang telah mencintai sepenuh
hati. Orang yang membesarkannya dengan senyum kasih sayang yang tak bertepi.
Perang pun terus
berlaurt. Dentingan pedang terdengar sangat keras. Abdullah terus memburu
anaknya. Terpaksa, Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah harus menghadapi sang
ayah. Islam adalah harga mati. Siapapun yang mencoba memadamkan api Islam harus
diberantas.
Maka, dengan gagah
berani, Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah berduet dengan ayah tercinta. Kilatan
pedang tampak saling menyabet. Dan akhirnya, Abdullah tersungkur.
Pedang Sahabat
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah berhasil merenggut nyawa ayahnya.
Setelah itu, turunlah
ayat:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ
الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ
حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (22)
“Kamu tak
akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang
datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka,
dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah
golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan
yang beruntung.”(al-Mujadalah; 22)[3].
Biografi
Abu Ubaidah bin Jarrah; Sosok yang Amanah
Ada satu sifat yang
sangat melekat pada diri Abu Ubaidah. Yaitu sifat amanah (dapat dipercaya). Sifat amanah seakan menjadi cirikhasnya.
Dimanapun Abu Ubaidah disebut maka amanah juga disebut.
Bahkan dikalangan
sahabat, dia dipanggil dengan al-Qawiyul-Amin (orang kuat dan terpercaya).
Hal itu bermula saat
Rasulullah saw. mengatakan kepada penduduk Najran bahwa beliau akan mengirim
orang kuat dan terpercaya. “Aku akan mengutus bersama kalian seseorang kuat dan
terpercaya.” Ternyata, orang yang dimaksud nabi adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.
Jadilah para sahabat memanggilnya al-Qowiyul-Amin[4].
Dalam riwayat lain,
Rasulullah tidak menyebut Abu Ubaidah bin Jarrah dengan al-Qowiyul-Amin, tapi
dengan sebutan “Seorang terpercaya dengan sebenar-benarnya”.
Cerita itu bermula ketika
Aqib dan Sayyid datan kepada Rasulullah saw.. Kedua penduduk Najran itu ingin
melaknat beliau. Namun ternyata, salah satu mereka merasa ragu untuk
melakukannya. Dia takut kalau-kalau Rasulullah saw. benar-benar nabi.
“Jangan kau lakukan itu!
Jika dia benar-benar nabi, kita dan keturunan kita tidak akan beruntung,” ucap
salah satu mereka.
Kedua teman itupun
mengurungkan niatnya. Mereka beruda tidak jadi melaknat nabi. Merka malah
berkata, “Kita akan memberikan apa yang kau minta, tapi utuslah bersama kami
seseorang yang terpercaya. Dan jangan kau utus kecuali orang yang terpercaya.”
Mendengar permintaan itu,
Rasulullah saw. langsung berkata, “Sungguh aku akan mengutus bersama kalian
seorang terpercaya dengan sebenar-benarnya.”
Sahabat yang mendengar
perkataan nabi itu langsung penasaran. Kira-kira siapa yang dimaksud nabi.
Akhirnya nabi menunjuk seseorang. “Berdirilah wahai Abu Ubaidah bin al-Jarrah,”
kata Rasulullah saw..
Ketika berdiri,
Rasulullah bersabda, “Ini adalah terpercayanya umat ini.”[5]
Selain itu, Abu Ubaidah
adalah seseorang yang dibanggakan Sayyidina Umar. Suatu ketika, Sayyidina Umar
berkata kepada santri-santrinya, “Berandai-andailah kalian!”.
Salah satu mereka pun
angkat bicara. “Aku berharap, andai rumah ini dipenuhi emas, aku akan
menafkahkannya di jalan Allah.”
Yang lain berkata, “Saya
ingin andai rumah ini penuh dengan Zabarjad dan intan permata, saya akan
menafkahakannya di jalan Allah.”
“Ayo, berandai-andailah!”
seru lagi Sayydina Umar.
“Wahai Amirul-Mukminin,
kami tidak tahu harus berandai-andai apa lagi,” Sahut mereka serentak.
“Saya berharap, andai
rumah ini penuh dengan seseorang seperti Abu Ubaidah, Mu’adz bin Jabal, Salim,
budak Abu Hudzaifah, dan Hudzaifah bin al-Yaman,” tukas Sayydina Umar.[6]
Tak heran jika Sayidina
Umar pernah berkata, “Andai Saya menututi Abu Ubaidah, saya akan menunjuknya
sebagai penggantiku tampa musyawarah. Jika saya ditanya, saya akan mengatakan,
“Saya menunjuk seorang pengganti yang dipercaya Allah dan Rasul-Nya.””[7]
Jadi, kata “Seseorang
yang amanah” memang sangat melekat dalam biografi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah
Biografi
Abu Uaidah bin Al-Jarrah: Seorang yang Lebih Suka Dibimbing
Abu Ubaidah adalah tipe
seseorang yang lebih mengutamakan persaudaraan. Menurutnya, persaudaraan adalah
harga mati. Persaudaraan harus dijalin dan tidak boleh retak. Apa lagi hanya
kerena hal-hal sepele.
Malah, sesama muslim
harus saling membantu. Tidak egosi. Sebab itulah yang diajarkan Rasulullah
saw.. Rasulullah bersabda, “Seorang Mu’min untuk Mu’min yang lain itu bagai
bangunan. Sebagian menguatkan sebagian yang lin.” (Muttafaq Aliah)
Hal itu, tampak sekali
pada penaklukkan Damaskus. Waktu itu, Khalifah Abu Bakar mengangkat Khalid bin
Walid menjadi pemimpin untuk menaklukkan Damaskus. Khalid pun mengepung negeri
itu dengn penuh semangat.
Namun, Abu Bakar wafat
sebelum pasukan Khalid bin Walid itu dapat menaklukkan Damaskus. Setelah Umar
bin Khattab menjabat sebagai Khalifah, Sayidina Umar mengirim surat pada Abu
Ubaidah memberitahukan kewafatan Abu Bakar.
Juga, Sayidina Umar mengangkatnya
sebagai pemimpin tentra Damaskus, penggati Sahabat Khalid bin Walid. Disamping
itu, Umar memerintah pada Ubaidah untuk bermusyarawah dengan Khalid bin Walid
dalam strategi perang.
Ketika surat itu sampai
pada Sahabat Ubaidah bin Al-Jarrah, dia tidak menyampaikan kabar itu pada
Khalid bin Walid. Pengepungan terus berlanjut sehingga akhirnya Damaskus
tertaklukkan.
Konon, pengepungan
terjadi selama kurang lebih 20 malam. Setelah penakulukan usai dan Sahabat Khalid
bin Walid tahu bahwa Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah diangkat menjadi
pemimpin tentara menggantikan dirinya, dia bertanya pada Ubaidah, “Semuga Allah
merahmatimu. Kenapa kau tidak memberitahukanku isi surat itu?”
Sahabat Ubaidah bin
Al-Jarrah pun menjawab dengan tenang, “Aku tidak ingin melemahkan semangat
perangmu. Aku tidak ingin amal dunia. Apa yang kau lihat ini bakal sirna. Kita
ini saudara. Tak masalah jika seseorang harus dipimpin oleh saudaranya dalam
masalah dunia maupun akhirat.”[8]
Segelepar tentara pun
berada dalam kendali Abu Ubaidah. Penduduk Syam pun berkasak-kusuk tentang
kehebatannya. Kasak-kusuk itu pun akhirnya didengar oleh Sahabat Abu Ubaidah
bin Al-Jarrah.
Sahabat Abu Ubaidah
mengumpulkan mereka dan berpidato, “Wahai manusia, sesungguhnya aku ini hanya
seseorang dari Quraisy. Siapapun dari kalian -baik berwarna merah atau hitam
-yang mengungguliku dengan takwa, aku
senang jika dia berkenan membimbingku.”[9]
Begitulah biografi Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah. Sosok yang lebih mengutamakan persaudaraan. Juga, suka
dibimbing jika memang ada yang mau membimbing.
Biografi
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah; Pemimpin yang Miskin
Pada suatu ketika, Umar
bin Khattab berkunjung ke Syam. Sesampainya di sana, Umar langsung menanyakan Sahabat
Abu Ubaidah bin Al-Jaarah.
“Dimana saudarku?”
“Siapa?” Tanya
orang-orang.
“Abu Ubaidah,” kata
Sayyidan Umar.
“Sebentar lagi datang,” sahut
mereka.
Ketika Sahabat Abu
Ubaidah bin al-Jarrah datang, Sayidina Umar turun dari tunggangannya dan
memeluk Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian masuk ke rumah Sahabat Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah.
Ternyata, di rumah itu
Sayyidina Umar tidak menemukan apa-apa selain pedang, taming dan kendaraannya.[10]
Dalam riwayat lain,
ketika sampai di Syam, Sayidina Umar meminta kepada Sahabat Abu Ubaidah bin
Al-Jarrah untuk singgah di rumah Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.
“Ayo pergi ke rumah mu!”
Ajak Sayyidina Umar.
“Apa yang akan kau
perbuat di rumahku?” kata Abu Ubaidah. “Kau hanya akan mencucurkan air mata
karenaku,” lanjutnya.
Kedua sahabat itu pun
berangkat. Ketika sampai di rumah Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Khalifah
kedua itu tidak menemukan apa-apa.
“Mana benda-bendamu? Aku
tidak melihat apa-apa kecuali pakaian bulu, piring dan tempat air. Padahal,
dirimu ini pemimpin,” tanya Sayyidina Umar pada Sahabat Abu Ubaidah bin
Al-jarrah.
Abu Ubaidah diam saja.
“Mana makananmu?” tanya Sayidina
Umar kemudian.
Sahabat Abu Ubaidah bin
Al-Jarrah melangkah menuju periuk. Lalu, periuk itu disodorkan pada Sayidina Umar.
Sayidina Umar pun melihat isi periuk itu. Hanya remukan-remukan roti. Umar pun
menangis. Betapa Abu Ubaidah menjaga jarak dari dunia. Sama sekali dunia tidak
terbesit di hatinya.
“Bukankah aku sudah bilang,
kau akan menangis karenaku?” Tukas Abu Ubaidah pada Sayyidina Umar.[11]
Luar biasa. Biografi Abu Ubaidah
bin Al-Jarrah ini sangat cocok untuk kita yang ingin menjadi pemimpin.
Biografi
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah; Sosok yang Sederhana
Suatu ketika, Sayyidina
Umar bin Khattab mengirim uang sebanyak 4000 dirham dan 400 dinar kepada Sahabat
Ubaidah bin Al-Jarrah. Sayyidina Umar memerintah pada utusan yang membawa uang
itu untuk meilhat apa yang dilakukan Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah setelah
mendapat uang itu.
“Lihat apa yang dia
perbuat?” Kata Sayydina Umar.
Si utusan pun berangkat.
Setelah menyerahkan uang itu, Si utusan menunggu bagaimana reaksi Sahabat Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah mendapat uang sebanyak itu.
Ternyata, Abu Ubaidah
tidak menyimpannya. Dia malah membagi-bagikannya. Ketika kejadian itu
dikabarkan kepada Sayyidna Umar, Sayyidna Umar berucap,”Segala puji milik Allah
yang telah menciptakan orang sepert ini (Sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah) dalam
Islam.”[12]
Pada lain waktu,
Sayyidina Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah. Sayyidina Umar mendapatinya
sedang berbaring di atas permadani yang terbuat dari rumput dan berbantal wadah
barang-barang.
Sayyidina Umar pun
menanyakan kenapa dia tidak memakai permadani yang lebih baik. Kok permadani
dari rumput.
“Kenanap tidak memakai
seperti yang diapakai sahabat-sahabatmu?” Tanya Sayyidina Umar.
“Wahai Amirul Mukmini,
ini sudah membuatku nyaman,” jawab Abu Ubaidah santai.[13]
Begitulah sikap Abu
Ubaidah hidup di dunia ini. Menurut beliau dunia hanya mimpi. Hidup yang sesungguhnya
adalah kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, gemerlap-germerlip dunia tidak
pernah bisa singgah di hatinya. Yang terpatri dalam hatinya hanyalah amal baik
dan ibadah.
Tak heran, pada suatu
ketika, dia pernah berkata lantang di depan para tentaranya:
“Betapa banyak
orang yang membersihkan bajunya, tapi dia mengotori agamanya. Betapa banyak
orang yang memuliakan dirinya, tapi sebenarnya dia menghinakan dirinya.
Hapuslah kejelekan-kejelekan yang lalu dengan kebaikan-kebaikan yang baru.
Andai salah satu kalian melakukan kejelekan-kejelekan sebanyak antara dia dan
lanigt, kemudian melekukan kebaikan, maka kebaikan itu akan mengungguli
kejelekan sampai mengalahkannya.[14]
Itulah, secuil kisah dari
biografi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang bisa penulis jabarkan. Semoga kita bisa
meneladaninya. Amin!
[1] Az-Zuhari,
al-Bashri, Muhammad bin Sa’ad, at-Thabaqât al-Kubrâ, Juz: 3, hal: 393, 1968
M, Dar Shodir, Beirut.
[2] Az-Zuhari,
al-Bashri, Muhammad bin Sa’ad, at-Thabaqât al-Kubrâ, Juz: 3, hal: 409,
1968 M, Dar Shodir, Beirut.
[3] An-Nisaburi,
Muhammad bin Abdullah Abu Abdullah al-Hakim, al-Mustadrak Alâ as-Shahihain,
Juz: 3, hal: 296, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut.
[4]
Ibnu Abdil Bar, Yusuf bin Abdullah, al-Istî’âb Fî Makrifah al-Ashâb,
Juz: 2, hal: 793, Maktabah Syamilah.
[6]
Al-Hakim, al-Mustadrak, 5005
[7] Az-Zuhari,
al-Bashri, Muhammad bin Sa’ad, at-Thabaqât al-Kubrâ, Juz: 3, hal: 413,
1968 M, Dar Shodir, Beirut.
[8]
Bidayah wa an-Nihaya. Ibnu Kastir, 7/389
[9]
Tabaqatul-Kubra, 3/412-413
[11]
Tarekh Dimsyiq, 25/481 / Sayiru A’lam an-Nubalak, 1/16-18
[12]
At-Thabaqat, 3/412 (225)
[13]
Hilyah, 1/101 (225)
[14]
Hilyah, 1/102
Posting Komentar