Keberuntungan yang luar
biasa bisa ngaji literasi pada Raedu Basha. Seorang seniman sekaligus sastrawan
berdarah Madura. Tepatnya, Kabupaten Sumenep.
Sumenep adalah salah satu
kabupaten di ujung timur Pulau Madura. Entah kenapa, kabupaten ini banyak
sekali melahirkan sastrawan. Sebut saja Raedu Basha, KH. Zawawi Imron, dan
lain-lain.
Raedu Basha/flickr.com |
Bahkan, kesusastraan di
pondok saya (saat saya masih nyantri) juga diwarnai oleh anak-anak dari Sumenep
ini.
Uniknya, sastrawan Sumenep
itu mayoritas alumni pesantren. Ada dzauq kesantrian yang sangat kental.
Di mana dzauq ini mungkin lebih mudah difahami oleh orang yang pernah
nyantri.
Badrus Shaleh, itulah
nama asli Raedu Basha. Kemaren beliau mengisi pelatihan tulis-menulis untuk
angkatan baru FLP Surabaya. Tepatnya, pelatihan menulis puisi. Dengan cara
online. Karena masih ada Corona yang memisahkan.
Insyaallah, kapan-kapan
saya share juga materi puisi dari beliau. Mau izin dulu ke ketua FLP Surabaya. Insyaallah.
Dalam pelatihan ini,
panitia menyiapkan waktu untuk tanya-jawab. Banyak pertanyaan yang masuk. Tapi,
ada satu pertanyaan yang menarik perhatian saya. Jawaban dari Raedu Basha juga
menginspirasi saya.
Pertanyaannya begini:
“Tips membiasakan menulis
puisi kak? Agar istiqomah menghasilkan
karya-karya indah?”
Ini jawaban Raedu Basha:
“Melanggengkan wuduk saat
kita menulis, kalau perlu salat sunnah sebelum menulis, lalu berdoa setiap
bakda salat supaya diberikan kemudahan menulis dan produktif.”
“Dan tentu saja, kita
harus punya etos kerja, jam terbang yang tinggi untuk menulis puisi.”
Ya, sebelum menulis,
berwudulah. Bahkan, shalatlah. Ditambah, berdoalah.
Sepertinya, penulis hebat
memang tidak lepas dari apa-apa yang dinasehatkan oleh Raedu Basha ini.
Saya masih ingat betul
cerita dari KH. Zawawi Imron beberapa tahun lalu. Saat saya mengikuti ngaji
literasi yang diisi oleh beliau.
Kata beliau, ada salah
satu puisi beliau yang menang lomba. Hadiahnya adalah berangkat beribadah ke
Makkah. Hadiah ini merupakan hadiah yang termahal yang beliau dapatkan.
Ternyata, puisi yang
juara itu lahir dari rintihan-rintihan doa panjang beliau. Setiap malam beliau
selalu berdoa. Beliau memohon, semoga Allah memberinya inspirasi untuk
menghasilkan tulisan yang luar biasa.
Maka, jadilah puisi itu
dan beliau meraih juara.
Jadi teringat ulama salaf
dalam menghasilkan tulisan. Sebut saja Imam Bukhari. Seorang ulama yang menulis
hadis Sahih Bukhari itu. Kitab hadis paling sahih. Urutannya berada di setelah
Al-Quran.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani
menulis tentang Imam Bukhari ini. Kata Ibnu Hajar kurang lebih begini
terjemahannya:
“Imam Bukhari memiliki
manhaj khusus dalam hidupnya. Khususnya dalam ilmu dan pembukuan hadis. Imam
Bukhari menghabiskan waktu 16 tahun untuk mengumpulkan hadis shahih dengan
teliti, sabar, dan hati-hati.”
“Dan setelah semua itu,
Imam Bukhari tidak membukukan hadis kecuali setelah mandi dan shalat dua rakaat.”
Begitu juga dengan Imam
Syafi’i. Menurut Imam adz-Dzahabi yang terekam dalam kitabnya, Tarikh
al-Islam Wa Wafayat al-Masyahir Wa al-‘A’lam, Imam Syafi’i membagi waktu
malam menjadi tiga bagian.
Sepertiga bagian pertama,
Imam Syafi’i menghabiskannya dengan menulis. Sepertiga bagian kedua, Imam Syafi’i
melaksanakan sholat. Sepertiga bagian ketiga, Imam Syafi’i menghabiskannya untuk
istirahat.
Ya, bagi saya, nasehat
Raedu Basha di atas menjadi renungan panjang. Sudahkah saya menulis dalam
keadaan daimul wudu (selalu punya wudu)? Atau setidaknya, sudahkah saya
menulis diawali Bismillah? Semoga!
Posting Komentar