Wabah mematikan terjadi tidak
hanya saat ini. Ribuan tahun yang lalu juga pernah menimpa umat manusia. Mulai
dari umat Nabi Musa sampai umat Nabi Muhammad.
Di zamannya Nabi Musa
pernah turun rijzan (siksa) pada Bani Israel. Menurut sebagian ulama, rijzan
ini adalah penyakit yang menyerang ribuan orang. Penyakit ini kemudian
merenggut nyawa.
fr.freefik.com |
Wabah mematikan pun juga
pernah menyerang umat Islam. Seperti di masa Sayidina Umar menjadi khalifah. Begitu
juga di masa Sayidina Zubair bin Awwam menjadi khalifah untuk hijaz.
Wabah mematikan di zaman
klasik itu dikenal dengan penyakit Ta’un. Menurut Ibnu Katsir yang dikutip oleh
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Ta’un adalah penyakit yang menyerang banyak orang (maradl
al-aam). Penyakit ini merusak udara, lalu membahayakan keseimbangan tubuh
dan merusak badan.
Wabah Taun ini mirip
dengan wbah Corona pada saat ini. Sama-sama menyerang banyak orang dan
mematikan.
Lari
dari Takdir ke Takdir yang Lain
Ungkapan “Lari dari
takdir ke takdir yang lain” ini ucapan Sayidina Umar ketika menghdapi wabah
mematikan.
Kala itu, Sayidina Umar ingin
bertandang ke Syam. Beliau ingin melihat keadaan rakyat dan mengoreksi para
pemimpinnya. Akan tetapi, sebelum sampai di Syam, beliau mendengar Syam sedang
diserang wabah mematikan.
Sayidina Umar
bermusyawarah. Melanjutkan perjalanan atau kembali pulang. Terjadi silang
pendapat. Tapi akhirnya, Sayidina Umar dan para sahabat lainnya memutuskan
pulang.
“Apakah engkau lari dari
takdir?” Itulah pertanyaan Sayidina Abu Ubaidah bin Jarrah.
“Andai bukan dirimu yang
mengatakan hal itu wahai Abu Ubaidah. Iya, kami lari dari takdir Allah ke
takdir Allah yang lain,” begitulah jawaban Syaidina Umar.
Berusaha
dan Tawakkal
Kira-kira apa yang
dimaksud dengan “Lari dari takdir ke takdir yang lain”?
Imam al-Qari dalam
kitabnya, Umdah al-Qari menjelaskan, Islam melarang seseorang
melemparkan dirinya pada sesuatu yang mebahayakan. Jika dia melakukan, itu
takdir.
Islam juga mengharuskan
seseorang menjauhi sesuatu yang membahayakan. Tapi, jika dia tidak menjauhinya,
itu juga takdir.
Intinya, semua hal yang
terjadi adalah takdir. Andaikan Sayidina Umar melanjutkan perjalanan ke Syam
kemudian terkena wabah, itu takdir. Andaikan Sayidina Umar kembali dan tidak
terjangkit wabah, itu juga takdir.
Dalam hal ini, Sayidina
Umar mengamalkan dua hal yang sama-sama disyariatkan dalam Islam: waspada dan
berpasrah diri pada yang Maha Kuasa (percaya takdir). Dalam bahasa kita
sehari-hari diungkapkan dengan “berusaha dan tawakkal”.
Ibnu Hajar al-‘Asqalani
membahasakannya dengan maqam (sikap diri) tawakkal dan maqam memerhatikan
sebab-sebab. Artinya, kita percaya semua yang terjadi adalah takdir dan kita
juga percaya semua yang terjadi pasti ada sebabnya.
Tugas umat manusia,
melakukan sebab-sebabnya sembari bertawakkal kepada Allah tentang hasilnya.
Jika
Ada Wabah Mematikan, Jangan Datangi dan Jangan Lari
Keputusan Sayidina Umar
di atas sebenarnya sesuai dengan sabda Rasulullah saw.. Hal ini diketahui
ketika sahabat ‘Abddurrahman bin ‘Auf datang. Sahabat ‘Abdurrahman menuturkan
bahwa dia pernah mendengar sebuah hadis dari Rasulullah saw..
Kata Rasulullah,
إِذَا
سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ
بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
“…….Jika kalian mendengar
(kabar) ada wabah di sebuah tempat maka jangan kalian mendatanginya. Jika wabah
itu terjadi di sebuah tempat dan kalian berada di tempat itu, janganlah kalian
pergi karena ingin lari dari wabah itu.”
Penggalan hadis ini
lanjutan dari cerita Sayidina Umar di atas. Tercatat dalam kitab Sahih
Bukhari.
Hadis ini mengajarkan
kepada kita, jika ada penyakit mematikan di sebuah tempat, maka kita tidak
boleh mendatanginya. Kenapa?
Menurut Abul Hasan
al-Mubarakfuri, dalam Mir’ah Mafatihnya, tujuannya agar hati kita lebih
tenang dan menutup pintu dari gangguan setan.
Karena, ketika kita memasuki
suatu tempat yang sedang ada wabah, hati kita pasti resah. Setan pun mudah
untuk membisik-bisikkan sesuatu yang dilarang dalam hati kita.
Ada juga ulama yang
mengatakan, karena mendatangi tempat yang ada wabahnya, berarti menyeburkan
diri dalam bahaya atau kehancuran. Hal demikian dilarang dalam agama.
Dengan
artian, kita dilarang mendatangi tempat wabah itu agar kita tidak tertular wabah
tersebut.
Lalu, ketika ada wabah di
sebuah tempat dan kita ada di dalamnya, kenapa tidak boleh pergi?
Menurut para ulama,
karena pasrah pada takdir Allah. Ada juga ulama yang mengatakan, karena jika
orang-orang yang sehat pergi, siapa yang akan merawat orang yang sakit dan yang
mati?
Ada juga ulama yang mengatakan, larangan
pergi dari tempat merebaknya wabah itu ta’abbudi (murni ikut perinta
Allah). Oleh karenanya, tidak ada hikmah dan alasan dalam larangan tersebut. Pendapat
ini dikutip oleh Imam as-Suyuthi dalam Tanwir al-Hawalik.
Ketika
Indonesia Terjangkit Wabah Virus Corona
Kini, Indonesia sedang
darurat. Virus Corona sudah menyerang puluhan warga Indonesia. Aktivitas banyak
yang ditangguhkan. Sekolah-sekolah diliburkan. Tempat-tempat wisata juga
dikosongkan.
Lalu, bagaimana kita
menghadapi penyakit yang mematikan ini?
Kita gunakan konsep yang
diterapkan oleh Sayidina Umar di atas. Yaitu, usaha dan tawakkal. Kita berusaha
menjauhi penyebab-penyebabnya. Lalu pasrahkan kepada Allah yang Maha Segalanya.
Baca juga:
Dalam bahasa Sayidina
Umar ketika menghadapi wabah Corona klasik itu: Lari dari takdir ke takdir yang
lain. Semoga ktia selamat! Amin.
Posting Komentar