Dulu sekali, saya pernah menulis biografi salah
satu kiai. Nama kiai itu adalah KH. Cholil bin KH. Nawawie Sidogiri. Ulama besar
di masanya. Bahkan, banyak ulama mengatakan, beliau termasuk waliyullah
(kekasih Allah).
Satu hal yang sangat mengesankan bagi saya,
beliau memiliki prinsip “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”.
Konon, beliau memiliki dua lumbung padi. Satunya
diperuntukkan untuk masyarakat yang membutuhkan. Satunya untuk keperluan
keluarga.
fr.freepik.com |
Akan tetapi, suatu ketika, lumbung padi yang
diperuntukkan untuk masyarakat itu habis. Maka, lumbung padi yang diperuntukkan
untuk keluarga beliau sedekahkan kepada masyarakat.
Beliau memang senang memberi, tapi sedih jika
diberi. Karena beliau tidak ingin balasan. Jika pun ada balasannya, beliau
ingin balasan itu di akhirat. Itulah prinsip “Tangan di atas lebih baik dari
pada tangan di bawah”.
Prinsip KH. Cholil Nawawie Sidogiri ini sejalan
dengan prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah saw.. Rasulullah ingin umat Islam
memiliki jiwa pemberi, bukan jiwa peminta. Rasulullah ingin umatnya memiliki
jiwa ‘di atas’ bukan jiwa ‘di bawah’.
Oleh karenanya, tak heran jika kemudian
Rassulullah saw. bersabda:
اَلْيَدُ الْعُلْيَا
خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا المُنْفِقَة والسُفْلى السَائِلَة
“Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
bawah. Tangan di atas adalah orang yang memberi, tangan di bawah adalah orang
yang meminta.” (HR. Bukhari Muslim)
Sabda Rasulullah saw. tersebut menjelaskan,
orang yang memberi itu lebih baik dari pada orang yang meminta. Dengan kata
lain, sebenarnya Rasulullah ingin kita menjadi pemberi. Kita menjadi orang yang
berjiwa ‘di atas’. Bukan orang yang berjiwa ‘di bawah’ alias peminta-minta.
Arti Hadis “Tangan di Atas Lebih Baik dari Tangan di Bawah”
Menurut mayoritas ulama, yang dimaksud dengan “Yad
al-Ulya” (tangan di atas) adalah orang yang memberi. Sedangkan yang
dimaksud dengan “Yad as-Sufla” (tangan di bawah) adalah yang
meminta-minta.
Menjelaskan hadis di atas, Imam Ibnu Hajar
al-Asqalani juga berkomentar dalam Kitab Fath al-Bâri. Beliau membagi
kondisi seseorang menjadi empat (4). Pertama, orang yang memberi. Kondisi ini
menurut banyak hadis disebut “tangan di atas”.
Kedua, orang yang meminta. Kondisi ini disebut
dengan “tangan di bawah”. Sebagaimana ungkapan banyak hadis.
Ketiga, orang yang tidak mau menerima pemberian
walaupun ada orang yang mau memberinya. Kondisi ini termasuk juga disebut “tangan
di atas” secara maknawi (tersirat).
Keempat, orang yang mengambil pemberian jika
ada orang yang memberi. Tapi, dia tidak meminta-minta. Kondisi yang keempat
ini, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan termasuk “tangan di bawah”.
Pendapat ini sangat cocok andaikan dilandaskan
pada pengelihatan mata. Karena pada kenyataannya, orang yang mengambil
pemberian itu tangannya di bawah. Meskipun dia tidak meminta.
Adapun jika dilihat dari hal yang maknawi,
maka tidak bisa dipukul rata. Karena kadang mengambil pemberian tanpa meminta
itu malah lebih baik.
Maka tak heran jika kemudian Imam Ibnu Hibban
mengatakan, “Orang yang bersedekah itu lebih utama dari pada orang yang
meminta-minta. Tapi, (orang yang bersedekah) tidak lebih utama dari orang yang
mengambil sedekah tanpa meminta-minta.
Imam al-Munawi juga berkomentar dalam kitab at-Taisir,
menerima pemberian, tapi hati tidak terlalu berharap untuk diberi itu berkah.
Maka, jika ada orang memberi padahal kita tidak
meminta, maka kita boleh mengambilnya. Jika kita tidak membutuhkan, kita bisa
memberikannya pada orang lain yang membutuhkan.
Berkahnya begini, saat kita mengambil
pemberian, berarti kita menekan keegoisan kita. Kita menekan rasa agar
dihormati orang atau disanjung orang. Saat memberikannya lagi pada orang lain,
berarti kita mengambil harta dunia hanya sekedarnya saja.
Tentu, kedua-duanya adalah baik untuk kita
sendiri. Sepertinya, Imam al-Munawi lebih cendrung untuk memperbaiki hati.
Selain itu,- masih menurut Imam al-Munawi-
menolak pemberian orang itu tidak pasti baik. Juga, tidak pasti aman dari
fitnah.
Benar juga ya. Ketika menolak lalu timbul
sombong di hati, malah itu bahaya. Atau menolak pemberian, lalu orang yang
memberi itu kecewa, itu juga tidak baik. Sebab, dalam Islam membahagiakan orang
lain itu dianjurkan.
Menurut Imam al-Qari dalam kitabnya, Umdah
al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, ada beberapa hal yang bisa diambil
pelajaran dari hadis di atas. Diantaranya, Rasulullah memotivasi kita untuk
bersedekah atau memberi di jalan kebaikan.
Pula, makruh bagi kita untuk meminta-minta. Jadi,
hadis di atas memotivasi kita agar tidak meminta-minta. Boleh meminta-minta
ketika dalam kondisi darurat. Misalnya, kita tidak memiliki makanan sama sekali
sehingga takut mati.
Dari pemaparan di atas, bisa kita tanamkan
dalam hati, bahwa berjiwa “di atas” itu lebih baik dari berjiwa “di bawah”.
Kita tidak perlu meminta, karena yang lebih baik adalah memberi.
Tapi, jika diberi tanpa meminta-meminta, tidak
apa-apa untuk mengambilnya. Niati saja untuk menghormati orang yang memberi. Atau
ingin membuatnya bahagia.
Hal ini senada dengan pendapat Imam Ibnu
Bathal. Menurut beliau, hadis ini memotivasi kita agar mengejar hal-hal yang
mulia. Juga, menjauhi hal-hal yang hina. Karena Allah senang pada sesuatu yang
mulia.
Prinsip
Hidup adalah Memberi bukan Menerima
Ada pemaparan bagus dalam salah satu buku
motivasi. Judulnya “Mission Ini Possible”. Dalam buku yang dikarang oleh
Misbahul Huda itu dijelaskan, sebenarnya prinsip hidup ini adalah memberi bukan
menerima.
Kutipannya saya tulis sebagaimana berikut, “Hakikat
keseimbangan menuturkan, memberi sama dengan menerima, pemberi terbaik biasanya
juga akan menjadi penerima terbaik, karena prinsip hidup sebenarnya adalah
memberi bukan menerima.”
Apa yang tertulis dalam buku tersebut, sama dengan
pepatah, “Siapa yang menanam dia yang menuai”. Dia yang memberi suatu hari dia
akan menerima. Jika tidak menanam, jangan harap bisa memanen.
Ketika kita memberi senyuman kepada orang lain,
orang lain akan memberi senyuman juga kepada kita. Ketika kita memberi hormat
pada orang lain, orang lain juga memberi hormat kepada kita.
Hal demikian juga bisa diperaktekkan dalam
dunia kerja. Misalnya, jika kita bekerja dengan sebaik-baiknya, maka kita akan
menerima gaji yang baik pula.
Prinsip ini tidak boleh di balik. Kita tidak
boleh meminta senyuman atau penghormatan jika kita belum memberinya. Kita juga
tidak bisa menerima gaji yang banyak jika kita belum bekerja yang
sebaik-baiknya.
Prinsipnya masih sama. Berjiwa ‘di atas’ itu
lebih baik’ dari pada berjiwa ‘di bawah’.
Saat
Memberi Tidak Perlu Berharap Diberi
Meski demikian, saat memberi tidak perlu
berharap agar diberi. Sebab, jika demikian, maka kita masih berjiwa
meminta-minta. Memberi ya memberi saja. Niatkan karena Islam ingin kita menjadi
pemberi.
Atau kita ingin pahala dari Allah. Biar Allah
yang membalas pemberian kita. Allah yang memberinya kelak di surga.
Kembali ke cerita KH. Cholil Nawawie Sidogiri
di atas. Beliau saat memberi tidak ingin imbalan apa-apa. Beliau memberi ya
memberi. Pemberian beliau ikhlas karena Allah.
Pernah suatu ketika, beliau bersedekah satu
sarung. Tak lama kemudian, ada orang bersedekah kepada beliau 10 sarung. Kemudian
beliau bersedekah lagi. Tak lama kemudian ada orang memberi beliau barang yang
sama. Tapi, jumlahnya lebih banyak.
Maka beliau berkata, bahwa beliau takut balasan
Allah hanya diberikan di dunia saja. Nanti di akhirat beliau tidak mendapatkan
apa-apa.
Posting Komentar