Menikah itu memang fitrah
manusia. Menikah adalah episode baru setelah saling jatuh cinta. Menikah juga
media untuk saling memadu kasih dan tawa. Maka, tidak mengherankan jika semua
orang ingin menikah.
Rasulullah juga pernah mengajarkan,
cinta yang paling dalam adalah cinta yang diikat tali pernikahan.
eu.clipdealer.com |
Akan tetapi, harapan dan
impian tidak selalu menjadi kenyataan. Bisa jadi pernikahan yang kita impikan tidak
menjadi sumber kebahagiaan. Malah menjadi hal yang membawa kenestapaan.
Benarkah? Benar dong. Kok
tahu? Ya tahu. Ada teman yang cerita.
Dalam hal ini, saya ingin
menulis dua cerita mengenai pernikahan. Bukan tentang kebahagiaannya, tapi
kegelisahan dan sakitnya.
***
Istri
yang Lidahnya Lebih Tajam dari Pedang
Teman saya ini laki-laki.
Anggaplah namanya Bang Paejo. Dia menikah beberapa bulan yang lalu. Saya
menghadiri pernikahannya.
Dia tampak bahagia. Kita
ketawa bersama. Tak lupa saya mendoakan berkah untuknya.
Beberapa bulan kemudian,
saya bertemu lagi dengannya. Saya yang minta ketemu. Karena rindu. Maklumlah,
kita sering berkumpul selama empta tahun. Dari semester satu sampai lulus.
Dia cerita banyak hal.
Termasuk tentang keluarga barunya.
Katanya, pernikahannya
tidak sebahagia yang dia harapkan. Bahkan sangat menyedihkan. Terutama karena
istrinya sering melontarkan kata yang menyakitkan.
Ya, kata yang nusuk
banget. Tepat di jantung. Diulek-ulek sampai hancur lebur.
Si istri pernah
mengungkit masalah resepsi pihak pengantin pria yang sederhana. Padahal, dalam
kebiasaan masyarakat memang lumrah begitu.
Karena resepsi
besar-besaran akan dilakukan di rumah pihak istri. Tentu pihak suami juga
membantu biaya.
Kata si istri, “Masak
resepsi pernikahan dari pengantin prianya kayak gitu. Nggak membanggakan
keluargaku sama sekali!”
Kata-kata itu benar-benar
menyakitkan.
Tidak hanya kata-kata
yang menusuk dada, perilakunya juga begitu. Tak kalah menyakitkannya.
Ternyata, tidak hanya
dari istrinya yang mendapat perlakuan demikian. Dari saudara-saudara istrinya
juga begitu. Saudara-saudaranya tidak suka pada dia. Mereka ingin dia pisah
dengan si istri.
Bahkan, kadang mertua
perempuan juga ikut-ikutan memojokkannya. Seakan-akan dia suami yang memang
harus diperlakukan demikian.
Untungnya, mertua
laki-laki sangat pengertian. Temanku itu sering mendapat nasehat sabar dari
mertuanya itu.
Namun, pernah suatu kali
teman saya itu benar-benar sudah menyerah. Dia sudah tidak kuat lagi. Akhirnya
dia tidak pulang selama tiga hari tiga malam. Dia menenangkan diri.
“Kamu kalau mau menikah,
hati-hati milih wanita. Karena kita akan bersamanya tidak hanya sehari dua
hari, tapi selamanya!” begitu pesannya kepada saya. Amin!
Itulah ceritanya guys.
Menyedihkan bukan. Menikah untuk bahagia malah susah hati yang didapatkannya.
***
Suami
yang Lidahnya Terkunci
Cerita yang kedua ini
dari teman saya yang lain. Dia perempuan. Dia cerita karena ingin mendapatkan
jalan keluar. Saya kan laki-laki. Jadi dia menanyakan beberapa hal tentang
laki-laki.
Pertanyaan pertama, “Kamu
laki-laki yang peka apa tidak?”
Hahaha… Saya peka kok.
Tapi, kadang nggak peka juga sih.
Lalu dia bercerita
mengenai keluarganya. Keluarga yang tidak seperti dulu lagi. Sudah berubah 80
derajat.
Katanya, akhir-akhir ini
suaminya selalu diam. Tidak mau berbicara dengannya. Dia mencoba menyapa, tapi
si suami tidak menyahutinya.
WA si suami dikunci.
Story WA-nya juga dirahasikan dari dia.
Dia merasa serba takut.
Mau menyapa, takut salah. Lalu si suami marah. Tidak disapa, si suami diam
seribu bahasa.
Tidak hanya itu, si suami
juga tidak mau tidur satu kamar. Dia tidur di luar, di sofa.
Padahal, teman saya itu
lagi hamil. Dia seharusnya waktunya mendapatkan support semangat dan
kekuatan. Tapi, malah begitu nasibnya.
Begitulah. Kadangkala,
memang hanya Allah yang bisa menjadi sahabat setia. Menjadi pendengar pelipur
lara. Karena Dia tidak pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya.
Oea, teman saya itu minta
masukan, dia harus bagaimana. Saya nggak bisa dong ngasih masukan. Karena belum
mengalami yang demikian.
Yang terakhir dia memberi
pesan, “Besok-besok (kalau beristri) jangan begitu (jangan diam aja)!” Amin…
Semoga!
***
Menikah
Itu Seperti Bahtera yang Menerjang Ombak
Kedua cerita di atas
hanya sebagian dari ribuan cerita menyedihkan. Ya, pernikahan tidak selamanya membahagiakan.
Kadang, malah menggores tangisan.
Setelah membaca dua
cerita di atas, masih yakin mau menikah? hehehe…. Kalau sendiri bisa bahagia,
kenapa harus menikah? WKWKWKWK. Kok kayak bahasanya feminis yak.
Menikah itu selain karena
kebutuhan, juga karena perintah agama. Jadi, kita menikah karena agama. Karena
ikut nabi kita. Ingin menyempurnakan agama kita. Ingin terjaga dari dosa.
Mengenai niat nikah agar
nikah kita berpahala, sudah saya tulis di blog ini dengan judul “Niat Nikah:
agar Pernikahan Menjadi Ibadah”.
Bagaimana kalau terjadi
seperti cerita di atas? Itu sudah konsekuensi. Karena memang, sebagaimana yang
saya dengar dari ceramah, menikah itu seperti bahtera yang menerjang ombak.
Kadang tenang, kadang
mengelombang, kadang sampai mematahkan tulang.
Sendiri aja juga tidak
selalu bahagia kok. Ada waktunya tertawa, ada waktunya menangis juga.
Maka, siap-siap saja. Ketika
ingin menikah, siap-siap menghadapi dua hal. Yaitu kebahagiaan dan kesedihan.
Kalau belum siap dengan dua hal itu, jangan dulu menikah. (*_^)
Posting Komentar