Dulu sekali, saya pernah
membaca sebuah kisah. Sangat menginspirasi dan sedih. Kisah seorang tua yang ‘dibuang’
oleh anaknya. Ya, dibuang ke Panti Jumpo.
Tampaknya, si anak tidak
sudi merawat ibunya. Dia tidak mau berbakti kepada orang tuanya. Bahkan, dia
telah menyakiti hati orang tua yang telah membesarkannya.
Ceritanya begini:
Terdapatlah sebuah
keluarga. Ada ayah, ibu, anak, dan seorang nenek. Suatu hari, mereka bepergian.
Baju sang nenek dimasukkan ke dalam koper dan dibawanya.
Siapa sangka, ternyata sang
nenek ingin dimasukkan ke dalam Panti Jumpo. Sang nenek menatap sedih. Ternyata
di sanalah akhir dari hidupnya.
Setelah administrasi
selesai, mereka bertiga pulang. Si nenek ditinggal sendirian. Tapi, tak selang beberapa
langkah, cucu si nenek lari ke kamar nenek. Lalu dia kembali lagi. Dibawanya
koper yang dibuat wadah baju nenek.
Si ayah dan ibu heran.
Ngapain anaknya alias cucu nenek itu mengambil koper.
“Loh ngapain diambil kopernya
sayang?” tanya mereka berdua.
“Koper ini buat wadah baju
ibu dan ayah saat aku ingin mengantar ayah dan ibu ke tempat ini,” jawab si
anak.
Keduanya terperanjat. Mereka
sadar, apa yang mereka lakukan tidak benar. Maka mereka kembali lagi. Menjemput
sang ibu. Ingin berbakti kepadanya. Tidak ingin menyakiti orang tua lagi.
Mereka takut, kelak mereka
juga mendapatkan perlakuan yang sama dari anaknya. Ya, mereka takut anaknya
juga akan menyakitinya.
Ayah
Tidak Usah Menangis
Ada kisah lagi. Tentang
bakti seorang anak kepada orang tuanya. Tepatnya kepada ayahnya. Sampai-sampai
si ayah meneteskan air mata.
Kisah ini saya baca dalam
sebuah blog. Sepertinya milik blogger Arab. Bahasanya juga menggunakan bahasa
Arab.
Ceritanya begini:
Ada seorang anak berangkat
haji bersama ayahnya. Mereka berangkat dengan Qafilah (rombongan).
Di tengah jalan, sang ayah
minta turun dari kendaraan. Sang ayah ingin qadil hajat (buang air atau
semacamnya). Si anak menurunkannya.
“Kamu berangkat duluan
dengan rombongan. Nanti ayah nyusul!” Kata si ayah.
“Baiklah ayah!”
Si anak pergi terlebih
dulu. Tapi, si ayah tak kunjung datang. Perasaan si anak tidak tenang. Dia pun
kembali mencari sang ayah.
Kemudian, dia bertemu
dengan ayahnya. Lalu menggendongnya. Karena kendaraannya berada bersama
rombongan.
Di saat menggendong si
ayah, ada air menetes membasahi wajah si anak. Ternyata air mata si ayah.
“Ayah tidak usah menangis. Ayah
tidak berat kok,” kata si anak.
“Aku tidak menangis karena
itu,” balas si ayah.
“Lalu?”
“Aku menangis karena di
tempat inilah dulu aku menggendong ayahku!” si ayah menjelaskan.
Berbuat Baiklah kepada
Orang Tuamu, Maka Kelak Anakmu akan Berbakti kepadamu
Dua kisah di atas
menggambarkan seorang anak yang durhaka kepada orang tua. Juga, berbakti kepada
mereka.
Anak yang menyakiti orang
tuanya, memiliki karma akan disakiti oleh anaknya. Seorang anak jika berbakti
kepada orang tuanya, nescaya kelak anaknya juga berbakti kepadanya.
Hal demikian memang ada
hadisnya. Bunyi petikan hadisnya sebagaimana berikut:
Menurut Imam al-Munawi
dalam At-Taisir, sanad hadis ini berstaus Hasan. Bahkan ada yang
mengatakan Sahih.
Hadis tersebut mengajak
kepada kita agar berbuat baik kepada orang tua. Jika kita berbuat baik kepada
mereka, berbakti kepada mereka, maka anak kita juga akan berbakti kepada kita.
Begitu juga sebaliknya,
jika kita menyakiti kedua orang tua kita atau durhaka kepada mereka, maka anak
kita juga akan menyakiti kita.
Pepatah Arab mengatakan, kamâ
tadînu tudânu. Sebagaimana engkau berperilaku, seperti itu pulalah engkau
akan diperlakukan.
Oea, yang dimakus aba’ukum
(bapak-bapak kalian) dalam hadis di atas mencakup ibu. Juga mencakup
nenek-kakek kita. Sampai ke atas.
Artinya, kita juga memiliki
kewajiban berbuat baik kepada nenek, kakek, buyut, dan seterusnya.
Keterangan ini, sebagaimana
yang ditulis oleh Imam al-Munawi.
Itulah kisah dan hadis tentang
karma berbakti kepada orang tua. Pula, tentang karma durhaka atau menyakiti
orang tua. Semoga bermenfaat!
Posting Komentar