Perang Jamal adalah salah
satu perang yang tidak pernah diinginkan. Karena perang Jamal ini terjadi
karena adu domba. Sehingga sesama muslim saling menggores luka. Perang Jamal
merupakan perang tanpa sengaja.
Sayidina Ali sebagai pemerintah yang sah dan
Sayidah ‘Aisyah, Sayidina Talhah, dan Sayidina Zubair dari pihak yang
bersebrangan.
Sumber foto: dictio.id |
Perang Jamal ini terjadi
pasca terbunuhnya Sayidina Utsman oleh pemberontak. Saat itu, Madinah tidak
kondusif karena banyak pendemo dari Mesir, Bashrah, dan Kufah. Oleh karenanya,
para istri Rasulullah pergi ke Makkah. Ingin menghindari fitnah.
Ternyata, pemberontakan berakhir
dengan terbunuhnya Sayidina Utsman. Lalu, para sahabat yang tinggal di Madinah meminta
Sayidina ‘Ali untuk menjadi Khalifah yang keempat. Awalnya Sayidina ‘Ali
menolak. Akan tetapi, kalau bukan Sayidina ‘Ali yang menjadi pemimpin kala itu,
siapa lagi?
Aliansi
Penuntut Darah Sayidina Ustman yang Melahirkan Perang Jamal
Sayidina Ali sebagai
khalifah tidak langsung menghukum para pembunuh Sayidina Ustman. Bukan berarti Sayidina
‘Ali berada di pihak mereka.
Akan tetapi, Sayidina ‘Ali lebih realistis.
Bagaimana bisa menghukum mereka, jika pemerintahan tidak stabil. Lagi pula,
para pembunuh Sayidina Ustman tidak sedikit jumlahnya.
Maka, menurut Sayidina
‘Ali, hal pertama yang perlu dan harus dilakukan adalah menguatkan
pemerintahan. Oleh karena itu, Sayidina Ali meminta kepada umat Islam untuk
bersatu dalam komandonya. Sayidina ‘Ali meminta bai’at setia dari
mereka.
Namun, ada beberapa sahabat
Rasulullah yang tidak sepemikiran dengan langkah Sayidina ‘Ali. Diantara mereka
adalah Sayidina Talhah, Sayidina Zubair bin ‘Awwam, dan Sayidah ‘Aisyah. Mereka
kemudian berkumpul di Makkah. Banyak orang yang mengikuti langkah mereka.
Termasuk para sahabat senior.
Dalam perkumpulan itu,
Sayidah ‘Aisyah sempat berpidato. Beliau memotivasi orang-orang untuk ikut
bersamanya. Tujuan dari gerakan ini adalah menuntut darah Sayidina Ustman. Agar
para pembunuh itu di-qishas. Siapa sangka, gerakan ini kemudian
meletuskan Perang Jamal.
Orang-orang tunduk dalam
komandonya. Mereka melihat apa yang dilakukan Sayidah ‘Aisyah adalah bentuk
kemaslahatan. Kata mereka, “Kemanapun Anda pergi, kami akan pergi bersama
Anda,” begitulah kata mereka sebagaimana ditulis oleh Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah Wa an-Nihâyah.
Mereka kemudian
bermusyarawah. Apa yang harus mereka lakukan. Ada yang berpendapat agar pergi
ke Madinah, ada yang berpendapat agar pergi ke Syam, ada yang berpendapat agar pergi
ke Bashrah. Para penggerak akhirnya sepakat untuk pergi ke Bashrah. Mereka
berencana menggalang kekuatan di sana.
Tokoh
Penggerak Perang Jamal Ingin Pulang
Para istri nabi pulang ke
Madinah. Hanya Sayidah Aisyah yang ikut ke Bashrah. Sayidah ‘Aisyah pergi dengan
ditandu. Akan tetapi, ketika tiba di sebuah tempat yang bernama Hau’ab,
tiba-tiba Sayidah Aisyah ingin pulang.
Orang-orang di sekitar
bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Ternyata, di tempat itu beliau
mendengar gonggongan anjing. Seketika beliau mengingat sabda Rasulullah kepada
istri-istrinya. Kata Rasulullah, “Andai saja aku tahu siapa dinatara kalian
yang digonggongi anjing Hau’ab.”
Sayidah Aisyah menyadari,
istri Rasulullah yang digonggongi anjing itu adalah dirinya. Tepat di sebuah
tempat yang bernama Hau’ab. Lalu orang-orang mengitari Sayidah ‘Aisyah.
Abdullah bin Zubair juga mengatakan, sesungguhnya tempat itu bukan Hau’ab.
Akhirnya, Sayidah ‘Aisyah melanjutkan perjalanan.
Semuanya
Ingin Perdamaian, Tapi Kenpa Perang Jamal Meletus?
Sesampainya di Bashrah,
Sayidah ‘Aisyah memberitahukan pada tokoh-tokoh setempat tentang kedatangannya.
Beliau juga memberitahukan tujuan beliau beserta pasukannya. Bahwa,
kedatangannya hanya ingin menutut darah Syaidina Ustman. Karena Sayidina Utsman
dibunuh dengan dzalim.
Kalau bahasa Syaikh Ramadan
al-Buthi dalam Fiqh as-Sirah dalam Bab “Perang Jamal”, kedatangan
Sayidah ‘Aisyah, Sayidina Talhah, dan Sayidina Zubiar bin Awwam hanya ingin
mengingatkan penduduk Bashrah agar saling tolong menolong. Membentuk kekuatan
besar. Lalu, mengepung para pembunuh Sayidina Utsman.
Ketika mendengar kepergian
Sayidah ‘Aisyah bersama tentaranya ke Bashrah, Sayidina Ali mengejar mereka ke
sana. Beliau juga membawa tentara. Tujuannya tiada lain untuk mengajak mereka
bersatu dan menstabilkan keadaan.
Sayidina Ali kemudian
mengirim Qa’qa’ kepada Sayidah ‘Aisyah, Sayidina Talhah, dan Sayidina Zubair.
Tujuannya adalah memastikan keinginan mereka datang ke Bashrah. Sekaligus
mendisuksikan suasana negara pada mereka.
Qa’qa’ pun pergi. Dia mulai
dari Sayidah ‘Aisyah. Sayidah ‘Aisyah menjawab pertanyaan Qa’qa’, “Wahai
anakku, aku hanya ingin mendamaikan.” Begitu juga jawaban Sayidina Talhah dan
Zubiar bin ‘Awwam. Mereka hanya ingin memperbaiki keadaan.
Maka, Qa’qa’ pun
mendisukiskan pemikiran Sayidina Ali. Bahwa, Sayidina Ali juga ingin segera
menghukum para pembunuh Sayidina Utsman. Tapi untuk saat ini, bagaimana bisa?
“Sebagaimana kalian tidak
mampu menghukum pembunuh Sayidina Utsman, begitu juga Sayidina Ali. Beliau
belum mampu. Beliau akan menghukum mereka setelah mampu. Karena umat masih
terpecah-pecah,” begitu kurang lebih kata Qa’qa’ dalam al-Bidâyah Wa an-Nihâyah.
Maka, Sayidah Aisyah bisa
memahami situasi yang dihapi Sayidina Ali. Begitu juga dengan Sayidina Talhah
dan Sayidina Zubair. Terjadilah kesepakatan. Mereka akan bersatu. Tapi, kenapa
Perang Jamal masih meletus?
Adu
Domba agar Tak Bersama dan Meletusnya Perang Jamal
Kesepakatan antara Sayidina
Ali dan Sayidah ‘Aisyah membuat pembunuh Sayidina Utsman hawatir. Maka mereka
berkumpul mengadakan rapat. Mereka mendiskusikan langkah-langkah agar mereka
selamat.
Banyak usulan dari para
pebesar mereka. Namun yang disepakati kemudian adalah pendapatnya ‘Abdullah bin
Saba’. Otak dari segala kekacauan dan Perang Jamal ini. Dia ditemani oleh
Asytar an-Nakha’i, Syuraih, Salim bin Tsa’labah dan lain-lain.
Komplotan mereka
berjumlah kurang lebih 2500. Tidak ada satupun dari mereka dari kalangan
sahabat Rasulullah saw.
Pendapat Abdullah bin Saba’
adalah jika para pembunuh Sayidina Utsman itu ingin selamat, maka jalan
keluarnya adalah membaur dengan pasukan Sayidina Ali dan pasukan Sayidah
Aisyah. Ketika Sayidina Ali dan Sayidah Aisyah bertemu, kobarkanlah api
peperangan. Dan inilah titik api Perang Jamal.
Perang
Jamal Berkobar sebelum Fajar
Pada suatu malam, dimana
besoknya Sayidah ‘Aisyah akan bertemu dengan Sayidina Ali, pasukan muslimin
tidur dengan tenang. Sedangkan para pembunuh Sayidina Utsman dipenuhi
kehawatiran. Mereka takut kesepakatan itu benar-benar terjadi.
Maka, rencana pun mereka
eksekusi. Sebelum fajar menyingsing, mereka menyerang pasukan Sayidina Ali dan
pasukan Sayidah Aisyah dalam waktu bersamaan.
Pasukan Sayidah ‘Aisyah kaget
bukan kepalang. Mereka bangun, mengambil peralatan perang. Lalu siap menerkam
lawan. Mereka mengira, Sayidina Ali telah berkhianat dan menyerang mereka.
Sayidina ‘Ali dan
pasukannya juga kaget. Mereka langsung mengambil peralatan perang. Siap
menerjang. Mereka mengira, Sayiah ‘Aisyah telah berkhianat dan menyerang
mereka.
Maka, meletuslah perang
saudara yang terkenal dengan Perang Jamal itu. Pembesar pasukan Sayidina ‘Ali
membuat pengumuman agar tenang. Jangan sampai berperang. Akan tetapi, dalam
situasi yang seperti itu, siapakah yang akan mampu menghentikan?
Namun, sedahsyat apa pun Perang
Jamal ini, ketika wajah-wajah yang dinaungi keimanan dan persahabatan dalam
bimbingan Rasulullah itu bertemu, mereka menahan diri untuk menyerang. Dari
pihak mana pun mereka. Begitulah Syaikh Ramadan al-Buthi menuliskan situasi
Perang Jamal.
Dalam
Perang Jamal Ini, Sayidah Aisyah Tidak Terluka
Perang Jamal selesai ketika
para pemimpin pihak Sayidah Aisyah tidak berada di garis depan. Sayidina Zubiar
mundur dari medan Perang Jamal setelah berdiskusi dengan Sayidina ‘Ali.
Sayidina Talhah terbunuh
dalam medan Perang Jamal itu. Tinggallah Sayidah ‘Aisyah dalam tandunya yang
tertutup. Tandu itu juga dilapisi taming perang. Selain itu, Sayidah Aisyah
juga dikelilingi oleh para pasukannya yang siap menyelamatkan.
Tandu Sayidah ‘Aisyah bukan
satu dua kali mendapatkan serangan. Bahkan, kini hanya beliaulah yang menjadi
incaran anak panah. Diceritakan, tandu beliau itu penuh dengan anak panah yang
menancap. Sehingga tandunya mirip dengan hewan landak.
Sayidah ‘Aisyah maju ke
medan perang sebenarnya hanya untuk mendamaikan. Bukan untuk mengobarkan Perang
Jamal. Hal itu atas permintaan Ka’ab bin Siwar, Gubernur Bashrah. Kata Ka’ab,
“Wahai ibu, susullah orang-orang. Siapa tahu mereka berdamai berkat engkau.”
Dalam kecamuk Perang Jamal itu,
ada seseorang kurang ajara yang mengintip tandunya Sayidah ‘Aisyah. Sayidah
‘Aisyah marah. Beliau melaknatnya. Begitu juga mendoakannya agar Allah memutus
tangannya dan membuka auratnya.
Terkabullah doa itu. Orang itu dibunuh di
Bashrah. Di salib di sana. Tangannya di potong. Lalu di buang dalam keadaan
telanjang.
Baca juga:
Setelah unta yang membawa
tandu Sayidah Aisyah roboh, berhentilah Perang Jamal itu. Sayidina Ali
mendatanginya dan menanyakan kabarnya. Sayiah Aisyah menjawab, “Baik, semoga
Allah mengampunimu!” Orang-orang juga mendatangi Sayidah Aisyah mengucapkan
salam pada beliau.
Akhiran, semoga cerita Perang
Jamal di atas menjadi ibrah bagi kita. Agar kita umat Islam tidak mudah
terpecah belah. Juga, tidak mudah termakan adu domba. Seperti yang sering
terjadi di media sosial kita.
1 komentar