Suatu ketika ada adik organisasi bercerita,
saat OSPEK, dia ditanya, “Kamu pilih Alquran atau Pancasila?”Adik itu tidak
menjawab. Dia tidak tahu jawabannya. Baru-baru ini juga viral sebuah pernyataan
dari seorang tokoh, “Labih bagus mana Alquran atau Pancasila?”
Andaikan saya ditanya hal yang sedemikian,
rasa-rasanya saya juga tidak akan menjawab. Bagi saya, pertanyaan demikian itu
memang tidak perlu dijawab. Tidak penting.
Sumber foto: bobo.grid.id |
Pertanyaan seperti itu menggambarkan, si
penanya belum selesai memikirkan faham agama dan nasionalisme. Dia meletakkan
Alquran di satu sisi, Pancasila di satu sisi, lalu menabarkakkan keduanya.
Padahal, bagi umat Islam, Pancasila itu sudah final. Agama dan Pancasila sudah
selesai.
Memang, bagi umat Islam, Alquran itu segalanya.
Alqurah itu ruh Islam. Umat Islam bisa selamat dari dunia sampai akhirat jika
berpegang teguh pada Alquran. Alquran itu panduan hidup. Juga, sumber hukum
Islam paling utama.
Namun, cinta pada Alquran bukan berarti harus
anti Pancasila. Cinta pada Alquran dan Pancasila sama-sama bisa kita jalani.
Jika kita dipaksa memilih salah satu, sama saja kita diperbolehkan makan, tapi
tidak boleh minum. Atau sebaliknya.
Menurut pemahaman saya, Pancasila diterima
bahkan diperjuangkan oleh para ulama karena dua hal yang mendasar. Pertama,
Pancasila tidak bertentangan dengan Alquran. Bahkan, butir-butir Pancasila
sesuai dengan butir-butir yang tertuang dalam Alquran.
Kedua, Pancasila adalah strategi untuk
mengamalkan ajaran Islam dan kemenangan Islam. Pancasila seperti perjanjian
Hudaibiyah di masa Rasulullah. Rasulullah menerima perjanjian Hudaibiyah meski
tampak merugikan Islam.
Tapi sejatinya, perjanjian Hudaibiyah adalah
strategi Rasulullah untuk memenangkan Islam. Terbukti, perjanjian Hudaibiyah
menjadi titik awal dari pembebasan Makkah.
Hal ini sebagaimana dialog KH As’ad Saymsul ‘Arifin
Sitobondo dengan KH Ridwan. Dialog itu saya dapatkan dari KH. Makruf Khazin
dalam PowerPoint beliau. Berikut dialog tersebut, saya tulisa
sesuai tulisan KH. Makruf Khazin:
“Telah sampai kepada saya
riwayat dari Gus Sholahuddin, putra Kyai Mujib Ridlwan Abdullah, beliau dari
ayahnya Kyai Mujib, bahwa awalnya Kyai As’ad di masa itu tidak menerima adanya
Azaz Tunggal Pancasila.
Bagi kyai pelaku sejarah NU ini, Islam tidak bisa
diganti dengan apapun termasuk dengan Pancasila. Kyai As’ad berkata kepada Kyai
Mujib: “Tidak bisa Pak Mujib. Islam tidak bisa diganti dengan Azaz Tunggal.
Kalau Suharto masih meneruskan ini, kita harus Sabil (perang), Pak Mujib. Saya
meski sudah tua begini jangan dikira takut perang. Kita turun ke hutan lagi
seperti dulu”.
Terjadi dialog panjang
antara Kyai As’ad dengan Kyai Mujib yang cenderung menerima Azaz Tunggal
Pancasila. Tidak ada argumen yang keluar dari Kyai Mujib kecuali langsung
dijawab oleh Kyai As’ad. Ketika Kyai Mujib mengeluarkan dalil al-Quran, maka
Kyai As’ad juga berdalil al-Quran, begitu pula dengan dalil hadis.
Akhirnya
Kyai Mujib berkata: “Kyai, lebih berat mana NU menerima Azaz Tunggal Pancasila
dengan Rasulullah menerima Perjanjian Hudaibiyah?”. Sejak itulah kemudian Kyai
As’ad menerima Azaz Tunggal Pancasila pada Munas Alim Ulama dan Muktamar NU di
Situbondo.”
Meski demikian, Pancasila dengan rumusannya
yang sekarang, tidak bisa mengganti posisi agama. Juga tidak bisa mengganti
posisi Alquran.
Baca juga:
Alquran adalah dasar kita dalam beragama.
Pancasila dasar kita dalam bernegara. Pancasila tidak bisa dan tidak boleh dibenturkan
dengan Alquran. Karena keduanya tidak bertentangan.
Saya ingin mengahiri tulisan ini dengan
pernyataan Almarhum BJ Habibie. Pernyataan beliau ini tertulis dalam buku “The
Power Of Ideas”.
Kata beliau:
“Jika ada orang bertanya, Habibie itu siapa?
Insinyur, muslim ataukah Indonesia? Saya jawab, “Muslim”. Kenapa? Kalau saya
mati kelak, saya bukan lagi warga negara mana. Atau mempunyai kedudukan
apa?...... Tapi kalau saya jawab demikian, jangan lalu ada yang bilang Habibie
tidak nasionalis. No!” Wallahu A’lam.
Posting Komentar