Saat kita melaksanakan salat, pasti ada doa
yang kita baca. Mulai dar doa Ifititah, doa Qunut, doa saat duduk di antara dua
sujud, dan lain-lain. Hal ini bisa dimaklumi. Sebab, arti salat dalam
etimologinya adalah doa.
Masalah muncul ketika kita salat berjemaah dan
kita menjadi imam. Bagaimana cara baca doanya? Apakah harus mengganti domir
mufrad dengan domir jamak? Dengan artian haruskah mengganti kata ganti “ku”
dengan kata ganti “kami” dalam doa-doa salat?
Foto: news1130.com |
Atau misalnya berdoa bersama setelah selesai
salat. Apakah Imam boleh berdoa menggunakan kata ganti “aku”, sedangkan makmum
mengaminkan? Misalnya, Imam berdoa “Ya Allah, lancarkanlah rezekiku” dan makmum
di belakang mengaminkan.
Atau Imam harus menggunakan kata ganti “kami”
bukan “aku/ku” agar makmum yang mengaminkan juga termasuk dalam doa yang dia
baca?
Imam
yang Berikhianat
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas,
penulis akan memaparkan sebuah hadis mengenai doa Imam. Dalam sebuah hadis,
Rasulullah bersabda,
لَا
يَؤُمُّ عَبْدٌ قَوْمًا فَيَخُصُّ نَفْسَهُ بِدَعْوَةٍ دُونَهُمْ فَإِنْ فَعَلَ
فَقَدْ خَانَهُمْ
“Tidak (boleh) seorang hamba mengimami seorang
kaum lalu mengkhususkan untuk dirinya sebuah doa tanpa makmum-makmunya. Jika
dia melakukan hal itu, maka sungguh dia imam yang berkhianat.” (HR.
Imam Turmudzi)
Hadis ini menjelaskan, seorang imam tidak boleh
berdoa hanya untuk dirinya sendiri. Dia juga harus memperuntukkan doanya kepada
makmum yang mengaminkan di belakang. Imam tidak boleh berdoa, “Ampuni aku!”,
tapi “Ampuni kami!”.
Menurut para ulama, seperti Imam al-Mubarakfuri
dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi, ketidak bolehan ini tidak sampai pada
tingkatan haram. Ketidak bolehan ini hanya makruh. Artinya, makruh bagi imam
berdoa hanya untuk dirinya sendiri, padahal makmum mengamini doanya.
Imam yang demikian disebut imam yang
berkhianat. Kenapa berkhianat? Menurut Imam at-Thibi, berjamaah disyariatkan
agar imam (pemimpin) dan makmum (yang dipimpin) saling mentransfer kebaikan
dengan berkah kedekatan mereka kepada Allah.
Ketika imam berdoa hanya untuk dirinya sendiri
dan tidak menyertakan makmum, berarti dia telah mencedrai tujuan ini. Oleh karenanya,
dia disebut pengkhianat.
Oleh karenanya, sebagian ulama fikih dari
kalangan Madzhab Syafi’i, seperti Imam al-Ghazali dan Imam Qadi Husain,
berpendapat makruh hukumnya bagi Imam beroda hanya untuk dirinya sendiri, tidak
melibatkan makmum. Hal ini berlaku untuk semua doa dalam salat.
Rasulullah
Menjadi Imam dan Berdoa Hanya untuk Dirinya
Namun demikian, hadis ini masih perlu dikaji
lebih mendalam lagi. Pasalnya, ada riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah
saw. menjadi imam dan berdoa hanya untuk dirinya sendiri.
Sebagaimana kata Imam Ibnu Mundzir yang dikutip
Imam Khatib as-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj, bahwa ketika Rasulullah
takbir, sebelum membaca Fatihah, Rasulullah membaca doa:
اللَّهُمَّ
نَقِّنِي اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي
“Ya
Allah, bersihkan aku! Ya Allah basuhlah aku!”
Doa ini jelas berseberangan dengan hadis di
atas. Hadis ini menjelaskan imam tidak masalah berdoa hanya untuk dirinya,
sedangkan hadis di atas menjelaskan sebaliknya.
Menurut Imam al-Qulyubi, hadis di atas yang
menjelaskan bahwa imam tidak boleh beroda hanya untuk dirinya sendiri itu
khusus dalm doa qunut.
Dengan demikian, dalam doa Qunut, Imam memang
disunahkan menggunakan kata ganti “kami” dan makmum yang mengaminkan. Adapun
selain doa qunut, doa-doanya tetap memakai kata ganti “ku”. Pendapat ini diamini
oleh mayoritas ulama fikih madzhab Syafi’i.
Kenapa harus dibedakan antara doa qunut dan
doa-doa yang lain dalam salat, seperti doa Ifititah dan doa waktu duduk
diantara dua sujud? Menurut Imam Ibnu Qayyim, doa-doa dalam salat itu memang
disyariatkan untuk dibaca oleh setiap individu. Baik imam atau makmum.
Beda halnya dengan doa qunut. Doa yang dibaca
setelah rukuk di rakaat terakhir ini, memang disyariatkan agar dibaca oleh imam,
sedangkan makmum yang mengaminkan.
Ada pendapat berbeda dan unik dari Imam Al-Mubarakfuri.
Menurut beliau, sebenarnya dalam doa Qunut pun, tidak masalah bagi imam untuk
berdoa menggunakan kata ganti “aku/ku” (domir mufrod). Hanya saja Imam harus niat,
bahwa doa yang dia baca juga diperuntukkan untuk para makmum. Bukan hanya untuk
dirinya.
Imam
Meniatkan Doanya untuk Makmum
Jadi, sunah bagi imam untuk membaca doa Qunut
menggunakan domir jamak (kata ganti kami). Tujuannya agar doa tersebut
juga diperoleh oleh makmum. Adapun doa di dalam salat selain doa Qunut, imam
tetap membacanya dengan ganti mufrod (aku/ku).
Bagaimana dengan doa setelah salat? Imam juga berdoa
menggunakan kata ganti jamak. Agar doa yang dia panjatkan tidak hanya
untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk makmum.
Namun, jika doa itu harus menggunakan kata
ganti “ku” karena doa ma’tsur (doa yang diajarkan oleh Rasulullah), maka imam
cukup berniat di dalam hati bahwa doa itu juga untuk makmum.
Aminkan
Saja Semua Doa Imam
Lalu bagaimana dengan makmum? Jika kita menjadi
makmum, kita aminkan saja semua doa yang dipanjatkan imam. Baik saat doa qunut
atau setelah salat. Baik doanya menggunakan kata ganti mufrad (aku/ku) atau
jamak (kami).
Sebab, mengaminkan doa orang lain itu
sebenarnya berdoa juga. Arti “Amin” adalah “terimalah doa kami”.
Jika doa yang dipanjatkan imam itu umum untuk
imam dan makmum, berarti mamkmum juga berdoa seperti yang panjatkan imam. Jika
doa yang dipanjatkan imam hanya khusus untuk imam, ketika makmum mengaminkan
doa itu, maka makmum juga mendapatkan isi donya.
Baca juga:
Sebab, orang yang mendoakan orang lain, orang
itu juga akan mendapatkan isi doa tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لأَخِيهِ
بِظَهْرِ الْغَيْبِ، إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Tidak
seorang hamba pun yang mendoakan saudaranya diam-diam kecuali ada malaikat yang
berkata, “Dan untukmu semisal doa itu”.”
(HR. Imam Muslim)
Posting Komentar