Beberapa bulan lalu, suasana
di tengah masyarakat Indonesia memanas. Satu sama lain saling tuding. Saling
tuduh ‘anjing’. Orang yang berbeda pendapat, dimusuhin. Perdebatan seakan tidak
bisa terselesaikan. Dunia nyata dan dunia daring menjadi medan perang.
Sungguh, perpecahan di tengah masyarakat
sangat kentara. Mulai dari yang berpendidikan sampai yang senang cangkruk-cangkrukan
di desa. Bukan hanya sekali, saya mendengar orang kampung menyudutkan
tetangganya karena beda pilihan.
Ya, beberapa bulan lalu.
Saat Prabowo-Sandi dan Jokowi-Makruf bertarung. Merebut kursi RI 1 dan RI 2.
Segala upaya dilakukan.
Segala cara dikerahkan. Satunya menggandeng ulama, sebelahnya memeluk ulama.
Satunya membagikan sertifikat tanah, sebelahnya menjanjikan kesejahteraan untuk
emak-emak di rumah.
Para netizen pun semakin
kreatif. Suku bangsa diadu domba. Para kiai dijadikan bahan bakar mencerca.
Ulama yang satu dicintai, ulama yang lain dibenci. Hanya karena tidak satu
hati.
Untunglah, masih ada para
kiai yang tegas memperjuangkan pilihan, tapi memberi contoh pentingnya
persaudaraan.
Ada seorang kiai yang
mengumumkan pilihannya. Mengajak simpatisan mengikuti jejaknya. Kiai yang satu,
masih tetangga bahkan masih saudara, juga mendeklarasikan pilihan berbeda.
Mengundang simpatisan menghadiri acaranya. Banyak orang ‘luar’ menilai, kedua
kiai itu pecah.
Lalu suatu ketika, salah
satu dari dua kiai yang bertetangga itu sakit. Lumayan parah. Sehinggga harus dirawat
di rumah sakit. Kiai yang beda pilihan itu menjenguk kiai yang sakit. Duduk di
sampingnya. Bisa jadi, beliau juga memanjatkan doa.
Kejadian itu menyadarkan
banyak orang. Kedua kiai itu tidak pecah. Tidak! Hanya berbeda pilihan politik.
Hati tetap bersaudara. Pelajaran berharga untuk kita semua.
Mungkin penting bagi kita,
mengangan-angan kata mutiara dari Syaikh Hasan al-Banna. Kata beliau, saling
tolong menolong dalam hal yang kita sepakati, saling memahami dalam hal yang
tidak kita sepakati.
Dalam bahasa ulama-ulama
Nusantara, mereka yang bukan saudara seagama, mereka tetap saudara se-tanah
air. Mereka yang bukan saudara dalam tanah air, mereka masih saudara sesama
manusia.
Asas bersaudara itu saling
mencintai. Buah dari mencintai itu menginginkan yang terbaik untuk saudaranya.
Makanya Rasulullah bersabda, tidak sempurna iman seseorang, sehingga dia
mengingingkan apa yang dia nikmati juga dinikmati saudaranya.
Ketika
Politisi ‘Bermusuhan’
Politisi ketika
‘bermusuhan’ itu tidak sungguhan. Mereka berpura-pura. Karena ketegangan yang
terjadi diantara mereka itu disebabkan kepentingan.
Tentu, adagium ‘tidak ada
teman sejati dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi’ itu benar. Sangat
benar. Sekarang ‘musuh’, besok bisa jadi teman. Besok teman, lusanya ‘musuh’.
Tergantung kepentingannya.
Ketika kepentingannya sama, mereka berjalan beriringan. Ketika tidak sama,
mereka bersebrangan.
Kita ambil contoh, dulu
Ibu Megawati dan Bapak Prabowo pernah berkoalisi. Mereka menjadi
capres-cawapres. Tahun 2014 bersebrangan. Tahun 2019 bersebrangan lagi.
Sekarang akur lagi. Bapak Prabowo dan Jokowi yang merupakan kepanjangan Ibu Mega sudah bermesraan.
Sekarang akur lagi. Bapak Prabowo dan Jokowi yang merupakan kepanjangan Ibu Mega sudah bermesraan.
Apa kepentingannya
politisi? Mencari kekuasaan dong. Tidak ada politisi yang tidak mencari
kekuasaan. Jika ada plitisi mengatakan, berpoltik bukan untuk mencari kekuasaan
itu bohong. Politik dari sononya ya ingin mendapatkan kekuasaan.
Namun, tidak perlu su’udzan
pada politisi. Karena banyak politisi yang menggunakan kekuasaanya untuk
kepentingan rakyat. Dengan kata lain, banyak juga politisi yang menjadikan
kekuasaan bukan tujuan, tapi kendaraan. Kendaraan untuk berbakti pada bangsan
dan agamnya.
***
Yah, semoga saja yang
sudah-sudah ini menjadi pelajaran. Tidak bertengkar lagi karena beda pilihan.
Sebab, bisa jadi politisi yang dulu engkau bela mati-matian, sekarang malah
berkoalisi dengan politisi yang engkau ‘serang’. Kasihan deh ellu…!
Baca juga:
Maka, belajar persaudaraan
itu pada kiai. Tetap saudara apa pun yang terjadi. Apa lagi hanya karena
perbedaan menjagokan politisi. Namun, belajar ‘permusuhan’ itu pada politisi. Setelah
kontestasi pilihan selesai, mereka akur lagi. Bahkan bisa satu hati dalam
barisan koalisi. Salam !
3 komentar