“Aku nulis karena dia. Aku buat blog karena dia. Aku suka baca buku juga karena dia.”
Lillah - Kami berdiskusi. Ada yang laki-laki, ada
yang perempuan. Mereka seumuran. Berumur belasan sampai 20-an. Hanya saya yang
paling tua.
Kala itu kami berdiskusi tentang literasi. Utamanya
dalam pandangan kami sebagai muslim. Hidup di desa. Memegang teguh tradisi dari
orang tua.
Di sesi pertanyaan, ada yang bertanya sekaligus
curhat. Pertanyaannya sederhana. Namun, sulit menjawabnya. Sulit juga
melaksanakannya. Ditambah lagi, ketika sebuah aktivitas dilandasi “karena dia”
bukan “karena Dia”. Lelah bukan Lillah.
Penanya itu seorang wanita. Berwajah teduh. Sering
menunduk. Memandang lawan (jenis) bicaranya sebentar. Lalu menunduk lagi. Suaranya
pelan dan lembut. Seperti seorang santriwati saat sowan pada ibu nyai.
Ada satu kesan bagi saya. Khsusus dari wanita
itu. Kesannya: Untuk membuat hati terpesona, tak harus berwajah jelita. Cukup dengan……
Entahlah.
Ah, jangan-jangan saya berdiskusi ini juga karena
dia. Bukan Lillah. Yang jelas, kata Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddinnya,
menata niat agar Lillah itu memang sangat sulit. Kecuali bagi orang-orang yang mendapatkan
taufiq.
“Kak… Gimana ya caranya istikamah nulis?”
Itulah pertanyaannya. Pertanyaan yang sering saya tanyakan. Utamanya pada diri
saya sendiri.
“Aku sebenarnya tidak suka baca. Kemudian ada
seseorang datang. Hati tercengkram. Dia suka baca buku. Aku sering diajaknya
beli buku. Aku jadi suka buku. Aku juga jadi suka baca.
Aku mulai menulis. Aku buat blog untuk
tulisan-tulisanku. Aku menulis karena dia. Aku menulis juga untuknya.
Namun, dia menghilang. Meninggalkan banyak hal
yang membuatku sulit melupakan. Pastinya ada yang berubah pada diriku:
LITERASI.
Aku tak lagi suka membaca. Aku tak lagi
menulis. Karena aku tak lagi punya alasan untuk menulis.”
Dia menjelaskan panjang lebar. Kurang lebih
begitu. Sedikit saya dramatisir. Biar ada ehem-ehemnya. Bukan Lillah
neh? Eh, Lillah ding. (+_+)
Aku dan yang lain mendengarkan. Oh Tuhan, andai
saja laki-laki itu adalah saya. Hehehe… Tak ada salahnya berandai bukan?
Maksudnya mau pergi setelah mengisi hati? Bukan. Menjadi orang yang berarti.
Setidaknya untuknya.
***
Cara istikamah menulis? Caranya hanya satu: Terus
menulis. Sempatkan menulis bukan menulis sesempatnya. Ini for me ya. Karena
saya juga menulis sesempatnya.
Sama seperti dzikir, membaca Alquran, atau
aktivitas lainnya. Kuncinya disempatkan bukan sesempatnya. Disempatkan pasti
sempat, sesempatnya keseringan tidak sempat.
Bagaimana jika menulis karena dia? Bukan
Lillah. Menurut saya sih nggak masalah. Saya juga sering menulis karenanya dan untuknya.
Seseorang pokoknya. Pastinya bukan kamu-lah. Wkwkwkwk.
Akan tetapi, menulis karena dia itu berat. Kamu
nggak akan kuat (+_+). Kalau Lillah memang menjamin kuat?
Gini, gini! Aktivitas yang motivasi utamanya
adalah seseorang, itu rawan. Suatu ketika bisa sakit hati dan bikin berhenti.
Contohnya teman kami di atas. Membaca buku
karena seseorang. Ketika orang itu tidak ada, dia berhenti baca buku. Menulis
karena seseorang, ketika orang itu bikin kecewa, bisa jadi menulis menjadi
musuhnya.
Kalau Lillah? Allah itu selalu ada. Dekat dengan
kita. Lebih dekat dari urat leher. Lillah tidak akan membuat hati kecewa. Karena
sekecil apa pun sebuah usaha, ada pahala yang menantinya.
Arti Lillah itu apa sih? Li (korono/karena).
Allah (Allah). Lillah: karena Allah. Bicause Allah. Just Allah.
No another. (Benar nggak sih bahasa Inggrisnya?)
Jadi, cara istikamah yang paling kuat: merubah
lelah menjadi lillah. Insyaallah istikamah.
***
“Boleh saya minta alamat blognya?” pinta saya.
“Blog itu hanya untuknya…” jawabnya. Walah guys….
SALAM aja wes… dari sahabatmu.
Posting Komentar