Setiap malam 17 Agustus, kita mengadakan acara tasyakuran
kemerdekaan. Orang Jawa (Surabaya khususnya) menyebutnya Tirakatan.
Acara ini merupakan rangkaian dari beberapa acara sebelumnya.
Seperti lomba, bersih-bersih lingkungan, dan lain-lain.
Selama kuliah di Surabaya, saya selalu ikut acara Tirakatan ini.
Tahun pertama dan kedua di Simo Mulyo Baru, Surabaya Barat.
Tahun ketiga di Pejangkungan Sidoarjo. Tempat saya KKN. Tahun
keempat, di Cattleya, Sidoarjo.
Upacara santri Sidogiri : FB Sidogiri |
Sisi minusnya, keaktifan saya di kampus berkurang. Seperti
berorganisasi. Tapi, hidup ini kan memang pilihan.
***
Bagi saya, hal yang paling menggetarkan hati dalam acara Tirakatan
itu ketika pemutaran pidato Bung Tomo.
Meski hanya suaranya yang terdengar, tapi ruh perjuangannya sangat
terasa.
Inti dari pidato Bung Tomo itu mengajak pada pemuda-pemuda seluruh
Indonesia yang ada di Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan. Tidak boleh
menyerah pada tentara Inggris.
Pidato itu diakhiri dengan pekikan takbir tiga kali:
“Allahu Akbar…. Allahu Akbar…. Allahu Akbar…. MERDEKA!!!”
Sangat terasa sekali, pidato Bung Tomo yang berapi-apai itu
dilandasi tawakal kepada Allah.
Cinta tanah air yang digemakan oleh Bung Tomo adalah cinta yang
dibangun di atas pondasi agama: Islam.
Tidak bermaksud memandang sebelah mata agama lain, tapi itu
faktanya. Pidato kebangsaan Bung Tomo penuh semangat juang.
Kemudian dibakar dengan semangat takbir. Lafaz mulia yang pertama
kali kita baca saat shalat kepada-Nya.
***
Kemudian bayangan saya ke mana-mana. Terbayang Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari. Terbayang ketika beliau dipenjara.
Terbayang pula ketika Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan ditangkap oleh Belanda.
Juga, terbayang ketika Masyaikh-Masyaikh Sidogiri, tempat saya
menimba ilmu ikut andil merebut kemerdekaan.
Ada KH. Abdul ‘Adzim, beliau sempat dipenjara oleh Belanda.
Kemudian dilepaskan.
Sebabnya karena hujan disertai angin kencang melanda yang tak
kunjung reda. Ketika KH. Abdul ‘Adzim dilepas, berhentilah hujan itu.
Ada KH. Sa’doelah bin Nawawi. Putra KH. Nawawi bin Nurhasan, sang
pemberi tali di lambang NU.
KH. Sa’doelah termasuk panglima tentara Hizbullah. Beliau memimpin
perang gerilya melawan Belanda. Sidogiri kala itu menjadi markas tentara
Hizbullah.
Pasca kemerdekaan, KH. Sa’doelah bin Nawawi tetap mengabdi kepada
negara. Beliau menjadi DPR di Pasuruan.
Pengabdian beliau benar-benar tulus. Karena beliau tidak pernah
mengambil gaji. Sampai akhir hayat.
Ada lagi, KH. Abdul Jalil bin KH. Fadil. Ayah KH. Nawawi bin
‘Abdul Jalil. Beliau kiai Sidogiri yang syahid. Beliau wafat karena ditembak
oleh pasukan Belanda.
Kala itu, pasukan Belanda tahu bahwa Sidogiri dijadikan markas
tentara Hizbullah. Maka, mereka merengsek ingin mengepung Sidogiri.
Semua tentara Hizbullah hijrah sementara waktu. KH. Sa’doelah juga
hijrah. Beliau sempat mengajak KH. Abdul Jalil, pengasuh Sidogiri kala itu.
Tapi KH. Abdul Jalil tidak berkenan ikut.
Tentara Belanda berhasil mengepung Sidogiri. Mereka masuk ke dalam
pesantren tua itu.
Baca juga:
Mereka mendapati KH. Abdul Jalil sedang shalat. Pasukan Belanda
menunggu. Setelah selesai, KH. Abdul Jalil ditangkap.
Pasukan Belanda berusaha merebut buntalan yang dibawa KH. Abdul
Jalil. Buntalan itu berisi Al-Quran. KH. Abdul Jalil mempertahankannya.
Terjadilah duel tak semimbang. Satu lawan banyak tentara.
KH. Abdul Jalil berkali-kali ditembak. Tapi tidak mempan. Allah
belum mengizinkannya.
Lalu beliau ditangkap dan senapan ditembakkan ke arah mulut
beliau. Peluru itu menembus tubuh KH. Abdul Jalil hingga beliau wafat.
Kekejaman Belanda tidak hanya itu. Jasad KH. Abdul Jalil yang
sudah tidak bernafas itu diseret oleh mereka. Kemudian dibuang ke sungai.
Ada juga KH. Hasani bin Nawawi. Beliau berjuang melawan Belanda
lewat jalur diplomasi. Berkat perjuangan beliau ini, Sidogiri sering selamat
dari amukan Belanda.
***
Begitulah. Nasionalisme para kiai itu kemudian diwariskan kepada
para santri. Santri pasti cinta Indonesia. Karena Indonesia lahir dari
darah-darah para kiai mereka.
“Jangan ajari santri tentang nasionalisme!”
Begitulah kata Mas Ahmad bin KH. ‘Abdul ‘Alim, cucu dari KH. Abdul
Jalil dalam salah satu pidatonya.
SALAM untuk saudara-suadara se-tanah air. Dari Sahabatmu.
Posting Komentar