Cara taubat nasuha yang
benar perlu kita ketahui. Karena taubat nasuha adalah taubat yang diterima oleh
Allah swt..
Oleh karenanya, penulis
akan menuliskan beberapa poin dari cara taubat nasuha ini. Cara ini penulis ambil
dari beberapa kitab karya ulama salaf.
Kenapa
Kita Harus Bertaubat?
Karena kita banyak dosa.
Kita memang lahir dalam keadaan suci, tapi kemudian kita mengotori kesucian itu
dengan durhaka dan dosa.
Seperti kata Rasulullah:
“Setiap anak Adam itu memiliki
banyak salah. Tapi, sebaik-baiknya orang yang memiliki banyak salah adalah
mereka yang bertaubat.”
Hadis ini diriwyatkan oleh
Imam Hakim dalam kitab Mustadraknya. Kata beliau, hadis ini memiliki sanad yang
sahih.
Dalam banyak riwayat juga
dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw membaca istighfar 100 kali setiap hari.
Loh, Nabi Muhammad saja
yang jelas masuk surga beristighfar dan bertaubat, apa lagi kita?
Arti
Taubat Nasuha
Arti taubat adalah kembali
kepada Allah atau kembali pada jalan yang diridai oleh Allah.
Sedangkan arti nasuha /
nasuh adalah shadiqah (taubat yang benar). Syaikh Ibnu Bathal menulis alasan
kenapa Allah memberi nama taubat yang benar dengan nama taubat nasuha.
Menurut beliau, karena
taubat ini telah memberi nasihat kepada orang yang bertaubat dan menjauhkan
dirinya dari api neraka[1].
Artinya, arti taubat
nasuha adalah taubat yang benar-benar taubat. Taubat yang sungguhan. Taubat
yang keluar dari hati.
Cara
Taubat Nasuha
Dosa itu ada dua. Ada dosa
kepada Allah, ada dosa kepada manusia. Dosa kepada Allah hanya berhubungan
dengan Allah. Seperti tidak shalat, tidak puasa, dan kewajiban-kewajiban lain
yang hanya berhubundan dengan Allah.
Baca juga:
Sedangkan dosa kepada
manusia adalah dosa yang berkaitan dengan orang lain. Seperti ghibah, mengambil
harta orang, dzalim kepada orang lain, dan lain-lain.
Jika dosa kita adalah dosa
kepada Allah, maka cara taubat nasuha-nya sebagaimana berikut[2]:
1. Menyesal
Jika
kita ingin taubat kita diterima alias menjadi taubat nasuha, maka hal pertama
yang harus kita lakukan adalah menyesal. Kita menyesal telah berbuat dosa.
2. Seketika berhenti
Yang
kedua adalah kita langsung berhenti melakukan dosa itu.
3. Bertekad tidak akan mengulangi dosa itu lagi
Kita
juga harus bertekad dalam hati, bahwa kita tidak akan mengulangi dosa itu lagi.
Kita tanamkan tekad itu dalam-dalam.
Kita
berjanji kepada diri kita sendiri bahwa dosa yang kita lakukan sebelumnya
adalah yang terakhir.
Jika
dosa kita adalah berupa dosa adami (dosa kepada orang lain), maka cara taubat
nasuhanya adalah sebagimana berikut[3]:
1.
Melakukan poin-poin
taubat nasuha dari dosa kepada Allah yang sudah dijelaskan di atas, mulai dari
menyesal, berhenti seketika, dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi.
2.
Mengembalikan harta
yang diambil dari pemiliknya tanpa hak atau meminta maaf kepadanya.
Mengenai poin yang kedua
ini, Syaikh Jamal menjelaskan secara rinci bagaimana cara taubat nasuha dari
dosa adami (dosa kepada orang lain)[4].
Baca juga:
Hal ini karena dosa adami
juga bermacam-macam, sesuai dengan kesalahan yang diperbuat. Lebih jelasnya,
penulis rinci sebagaimana berikut:
a. Dosa kepada orang lain dalam masalah harta
Misalnya kita memiliki
hutang belum dibayar atau mengambil harta orang lain tanpa izin, maka kita
harus mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.
Jika kita belum bisa
membayar karena kita tidak punya uang, maka minta kehalalannya.
Jika tidak memungkinkan
karena pemiliknya sudah meninggal atau tidak diketahui alamatnya, maka
menyedekahkan harta itu dan pahalanya diperuntukkan untuk pemilikinya.
Jika tidak memungkinkan,
maka cara taubat nasuha-nya adalah memperbanyak amal baik. Juga, bermunajat
kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Semoga pemiliknya merelakan harta itu di
hari kiamat.
b. Dosa kepada orang lain dalam diri/jiwa
Contohnya, membunuh orang
lain. Cara taubat nasuhanya adalah membiarkan keluarga korban untuk meng-qishas
dirinya. Qishahs dilakukan oleh pemerintah.
Jika tidak memungkinkan,
maka kembali kepad Allah. Bermunajat kepada-Nya. Semoga kelak di hari kiamat
mereka merelakan dan tidak menuntut balas.
c. Dosa kepada orang lain dalam harga dirinya
Misalnya memfitnah,
mencaci, atau ghibah orang lain. Cara taubat nasuha-nya adalah mendustakan
dirinya di hadapan orang yang mendengar fitnah, cacian, dan ghibah itu.
Misalnya ngerasani A di
hadapan B. Maka cara taubatnya harus mengatakan kepada B bahwa apa yang
dibicarakan oleh dirinya tidak benar.
Jika tidak memungkinkan
atau takut bertambah besar fitnahnya, maka kembali kepada Allah dan bermunajat
kepda-Nya. Semoga orang yang difitnah itu merelakannya nanti di akhirat.
d. Dosa kepada orang lain dalam keluarganya
Misalnya berzina dengan seorang
gadis. Maka cara taubat nasuhanya adalah langsung minta ampun kepada Allah.
Bermunajat kepada-Nya.
Tidak perlu meminta maaf
kepada keluarganya. Karena hal itu bisa membuat fitnah dan bahaya lebih besar.
Kecuali jika meminta maaf
kepada keluarganya itu mungkin dan tidak membuat bahaya. Maka harus minta maaf
kepada keluarganya.
Karena perbuatan zina
adalah perbuatan hina yang mencoreng nama baik keluarga. Berarti dosanya tidak
hanya kepada Allah tapi juga pada keluarga itu.
e. Dosa kepada orang lain dalam masalah agama
Misalnya menyesatkan orang
lain, membid’ahkan atau mengkafirkan, padahal orang itu tidak demikian.
Maka cara taubat nasuhanya,
engkau mendustakan perkataanmu di hadapan orang-orang yang pernah engkau
mengatakannya di hadapan mereka.
Baca juga:
Setelah itu, meminta maaf kepada orang yang disesatkan dan dikafirkan. Jika tidak memungkinkan, maka meminta ampun kepada Allah.
Walhasil, jika berdosa
kepada orang lain, maka cara taubat nasuha-nya adalah menyesal, berhenti
seketika dari dosa itu, dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi, dan harus mengembalikan
harta yang diambil (jika dosanya karena mengambil harta) atau meminta maaf
kepada orang yang disalahi.
Jika tidak bisa mengembalikan
atau meminta maaf, maka meperbanyak amal baik. Amal baik itu bisa menjadi
tebusannya jika kelak dituntut di akhirat.
Begitulah cara taubat
nasuha dalam Islam baik dari dosa kepada Allah atau dosa adami (dosa kepada sesama
manusia).
Wallahu A’lamu Bisshowab
[1]
Syarh Ibnu Bathal, (10/79)
[2]
Bughyah al-Musytarsyidin, (284)
[3]
Al-Adzkar an-Nawawi, (346)
[4]
Hasyiyah al-Jamal, (10/773)
Posting Komentar