KH. Abdul
Wahid Hasyim adalah ulama yang berjasa besar dalam berdirinya Indoneisa. Beliau
ikut membentuk barisan tentara Hizbullah guna memperjuangkan
kemerdekaan. Beliau juga anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menjelang
kemerdekaan.
KH. A. Wahid
Hasyim tidak hanya aktif di NU, tapi juga dalam politik. Namun sikap politik
beliau ditafsiri berbeda oleh kedua putranya, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur
dan DR. (HC.)Ir. KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Perbedaan pandangan
tersebut sama-sama dikemukakan dalam tulisan yang dimuat di “Harian Media
Indonesia” kemudian dibukukan.
Jika ingin memiliki bukunya, hubungi saja.! (+_+) |
Gus Dur
menganggap KH. A. Wahid Hasyim adalah tokoh NU yang berpikiran dinamis dan
liberal (hlm. 13). Hal ini didasarkan setidaknya pada dua hal. Pertama, KH. A.
Wahid mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara mengalahkan hukum Islam
(syariat). Artinya, KH. Abdul Wahid Hasyim lebih mengunggulkan Pancasila dari
pada syariat (hlm. 4).
Kedua, ketika
menjadi menteri agama, KH. A. Wahid Hasyim menerima permintaan agar wanita
diterima di Sekolah Guru Hakim Agama Negeri. Padahal, menurut Gus Dur, dalam
Islam wanita tidak boleh jadi hakim (hlm. 5).
Gus
Sholah tidak setuju dengan apa yang dikemukan Gus Dur mengenai sang ayah.
Ketidak setujuan itu, beliau tulis dalam sebuah artikel dengan judul “KH. A.
Wahid Hasyim, Pancasila dan Islam”.
Dalam
artikelnya ini, Gus Sholah tidak yakin KH. A. Wahid Hasyim lebih mengunggulkan
Pancasila dari pada Syariat. Karena keislaman tokoh muda NU itu sangat kental
sekali (hlm. 16). Bahkan dalam banyak kesempatan, KH. A. Wahid Hasyim justru
mengusulkan ajaran Islam masuk dalam undang-undang negara.
Misalnya,
dalam Rapat Panitia Perancangan Undang-Undang Dasar tanggal 13-7-1945, KH. A.
Wahid Hasyim mengusulkan, presiden Indonesia harus beragama Islam dan Agama
Negara adalah Agama Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama
selain Islam.
KH.
Wahid Hasyim juga ikut merumuskan Pancasila. Menurut Gus Sholah, perubahan
redaksional kelima sila dari usulan Bung Karno menjadi seperti yang kita kenal
sekarang memiliki maksud dan makna mendalam. Gus Sholah mengutip pendapat KH.
Achmad Shiddiq, bahwa dengan rumusan Pancasila tersebut negara Indonesia bukan
teokrasi sekaligus tidak sekuler (hlm. 18).
Masih
mengutip pendapat KH. Achmad Shiddiq, Pancasila dan Islam bukanlah dua hal yang
harus dipilih salah satu sambil membuang yang lain. Keduanya dapat berjalan dan
saling mengukuhkan, tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan (hlm.
21).
Bagaimana
jawaban Gus Dur menanggapi bantanhan adik tercintanya? Gus Dur menjawab dengan
artikel berjudul, “Terserah Suara Rakyat”. Artikel ini pun kemudian dijawab
lagi oleh Gus Sholah.
Pertanyaan
selanjutnya, apakah KH. A. Wahid Hasyim Liberal sehingga memperjuangkan
Indonesia menjadi negera sekuler atau Islamis yang memperjuangkan Islam menjadi
landasan bernegara? Atau bukan kedua-duanya? Temukan jawabannya dalam buku mungil
ini!
Baca juga:
Yang
jelas, sungguh buku kecil terbitan “Pustaka Tebuireng” ini akan memperkaya
cakrawala pemikiran kita tentang Indonesia, Pancasila, dan Islam. Pula,
perbedaan pendapat bukan alasan untuk saling benci. Gus Dur dan Gus Sholah itu
contohnya. Selamat membaca!
Profil Buku
Judul : KH. A. Wahid Hasyim dalam Pandangan Dua Puteranya
Penulis : KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan DR. (HC.)Ir. KH. Shalahuddin Wahid (Gus Sholah)
Penerbit : Pustaka Tebuireng
Cetakan Pertama : 2015
Julmah Halaman : 55
ISBN : 9786028805353
Posting Komentar