Hijrah
berarti pindah. Pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Atau pindah dari
satu kondisi ke kondisi lain. Hijrah dalam arti pindah tempat ini hanya ada
pada masa Rasulullah. Yaitu hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Setelah
itu hijrah diartikan pindah dari kondisi ke kondisi yang lain. Pindah dari
kondisi buruk ke kondisi baik. Pindah dari kondisi maksiat ke taat. Pindah dari
tidak berhijab ke berhijab. Dan seterusnya.
FB: Stafillah |
Hijrah
tidak ubahnya taubat. Bertaubat berarti kembali kepada Allah. Yang asalnya jauh
karena sering durhaka kepada Allah, kemudian kembali taat kepada Allah.
Hijrah
atau taubah ini keharusan kita semua. Mulai saat ini. Tidak ada kata nanti. Kenapa?
Karena nanti bisa saja nafas kita sudah berhenti. Kita tiada lagi.
Hijrah
karena Allah
Hijrah
itu karena Allah. Hijrah itu karena ingin rida Allah. Paling tidak ingin surga
Allah atau takut neraka Allah. Makanya, menata hati itu penting. Niat yang baik
itu harus. Bukan karena ikhwan yang tampan. Bukan karena akhwat yang menawan. Hijrah
itu karena Tuhan.
Niat
itu seperti pondasi. Jika pondasinya kuat, apa pun yang terjadi di belakang
hari, bangunan tak akan gampang roboh.
Hijrah
karena Allah tidak pernah susah saat ada orang yang nyinyir atau mencaci. Hijrah
karena Allah tidak pernah bangga saat ada orang yang memuji. Hijrah karena
Allah. Fokus ke Allah. Yang lain, lewat aja.
Siapa
pun yang hijrah karena Allah itu akan berpikir, tidak apa-apa dicaci orang yang
penting Allah sayang. Tak ada gunanya dipuji orang jika Allah tidak sayang. Yang
penting itu Allah, Allah, dan Allah.
Lagian,
kalau ikut kata orang mah kita bisa pusing. Orang akan melontarkan kata-kata
itu sesuai apa yang ada dalam diri mereka. Tentu hal itu akan berbeda.
Akhirnya, gini salah, gitu salah, dan semuanya salah.
Kata
pepatah Arab, Ridho an-Nas Ghayatun La Tudrok. Dicintai semua orang itu
cita-cita yang tak mungkin tercapai selamanya.
Hijrah
Tidak Menyulap Kita Suci di Sisi Allah
Hijrah
itu usaha menjadi lebih baik. Hijrah bukan berarti menyulap kita menjadi lebih
baik. Bimsalabi langsung baik. Tidak! Jika kita hijrah, tapi hati kita
merasa lebih baik dari orang lain, pada saat itu kita tidak baik.
Taat
kepada Allah itu wajib. Melanggar ketentuan Allah itu haram. Akan tetapi,
ketika kita tunduk pada semua ketentuan Allah bukan berarti kita baik. Tidak.
Salah jika karena kita taat lalu merasa lebih baik. Bisa jadi kan ketaatan kita
tidak diterima oleh Allah?
Misalnya
kita mutusin pacar kita dengan alasan hijrah, bukan berarti kita lebih baik
dari pada orang yang masih pacaran. Misalnya kita berhijab panjang atau
bercadar, hal itu tidak membuat kita lebih baik dari yang berhijab biasa-biasa
saja.
Berhijab
panjang, bercadar, mutusin pacar, dan seterusnya itu usaha kita untuk menjadi
lebih baik di sisi Allah. Hanya usaha. Belum tentu diterima.
Berarti
kita gak usah mutusin pacar dong, gak usah berhijab, gak usah taat ? Ya bukan
begitu maksudnya. Kalau kita tidak berhijab itu pasti dosa. Kalau kita pacaran,
itu pasti dosa. Kalau kita bermaksiat, itu pasti dosa.
Yang
menjadi titik tekan adalah kita tidak boleh merasa lebih baik dari orang lain.
Apa pun yang kita lakukan. Sebesar apa pun ketaatan dan amal baik yang kita
perbuat. Sebab, semua itu hanya usaha. Hasilnya kita pasrahkan ke Allah.
Kadang
juga ada, perempuan yang berhijab biasa-biasa saja, merasa lebih baik dari yang
berhijab panjang atau bercadar. Kadang ada juga yang sampai nyinyir dan
ngata-ngatain.
Mereka
ngatain orang yang berhijab panjang sok sucilah, sok alimlah, dan sok-sok yang
lain. Atau dikatain baru belajar agamalah. Baru anak kemaren sorelah. Dan seterusnya.
Ketika ada teman ikhwan tidak mau salaman dengan akhwat, dituduh Islam bergarislah, inilah, itulah.
Padahal
bisa jadi, mereka yang baru belajar agama, lalu berusaha berhijab, itu mendapat
rida Allah. Bisa saja, orang yang mutusin pacarnya karena Allah, itu mendapat
ampunan dan rida Allah. Bisa saja ikhwan yang tidak mau salaman dengan akhwat
itu mendapat rida Allah.
Bisa
saja anak muda yang tidak pernah nyantri, belajar agama hanya di forum-forum
tidak resmi, lalu mengamalkan ilmunya, mendapatkan rida Allah. Bisa saja.
Namun,
jika ketaatan dan hijrah kita ikhlas karena Allah, kenapa harus pusing dengan
perkataan orang lain. Yang penting Allah sayang ke kita.
Syaikh
Ibnu ‘Athaillah al-Iskandar memberi wejangan, ketaatan yang membuatmu merasa
lebih baik, berarti buruk bagimu. Kemaksiatan yang membuatmu merasa rendah di
sisi Allah itu baik untukmu.
Kata
beliau:
معصية أورثت ذلا وانكسارا خير من طاعة أورثت عزا واستكبار
Artinya:
Kemaksiatan yang membuatmu (merasa) hina dan patah hati (sedih) itu lebih
baik dari pada ketaatan tapi membuatmu (merasa) mulia dan sombong.
Yang
menjadi inti dari kata hikmah di atas ini adalah merasa hina dan merasa mulia.
Itu intinya. Sebab, biar bagaimana pun kemaksiatan itu dilarang, dan ketaatan
itu diwajibkan.
Maka
kalam hikmah di atas bisa diartikan begini, taatlah tapi tetap merasa bahwa
diri ini belum ada apa-apanya. Taatlah tapi tetap merasa bahwa ketaatan kita
belum tentu diterima. Dan bersedihlah, merasa hinalah jika kita terjatuh ke
dalam dosa.
Cara
agar kita tidak merasa lebih baik
Merasa
lebih baik itu memang tidak baik. Merasa lebih baik itu sombong. Sombong adalah
dosa pertama yang terjadi di jagad raya. Yaitu sombongnya Iblis. Makanya, dalam
dunia Tasawuf, merasa lebih baik ini sangat diwanti-wanti.
Mungkin
perlu bagi kita merenungi pesan Imam Nawawi agar kita tidak merasa lebih baik.
Pesan ini dikutip oleh Imam ‘Abdul Wahhab asy-Sya’roni dalam kitab beliau, “al-Mukhtar
Min al-Anwar Fi Suhbah al-Akhyar”.
Begini
nasihat beliau:
لا تستصغر أحداً فإن العاقبة منطوية، والعبد لا يدرى
بم يختم له.فإذا رأيت عاصياً فلا تر نفسك عليه، فربما كان في علم الله أعلى منك مقاماً
وأنت من الفاسقين، ويصير يشفع فيك يوم القيامة.وإذا رأيت صغيراً فاحكم بأنه خير منك،
باعتبار أنه أحقر منك ذنوباً.وإذا رأيت من هو أكبر منك سناً فاحكم بأنه خير منك باعتبار
أنه أقدم منك هجرة في الإسلام.وإذا رأيت كافراً فلا تقطع له بالنار لاحتمال أنه يسلم
ويموت مسلماً
Artinya:
jangan kau meremehkan siapa pun! Karena akhir dari kehidupan itu menghawatirkan.
Seorang hamba tidak tahu akhir dari kehidupannya (husnul khatimah atau tidak).
Baca juga:
- Puisi Wisuda Sedih : untuk Ayah, Ibu, dan Guru
- 5 Keutamaan Bulan Sya’ban dalam Karya Sayid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki
Jika
kau melihat orang yang lagi maksiat, jangan sampai kau merasa kua lebih baik dari
dia. Mungkin saja di sisi Allah dia lebih tinggi darimu dan engkau termasuk
orang fasik (banyak dosa). Dan bisa jadi dia yang menolongmu nanti di hari
kiamat.
Jika
kau melihat orang yang lebih muda darimu, maka tanamkan dalam hati bahwa orang
itu lebih baik darimu. Sebab, dia pasti lebih sedikit dosa dibanding dirimu (karena
kamu lebih lama berkelana di dunia).
Jika
melihat orang yang lebih tua darimu, tancapkan juga dalam hati bahwa dia lebih
baik darimu. Sebab, dia lebih dulu memeluk Islam (lebih dulu beramal baik dan
seterusnya) dari pada dirimu.
Baca juga:
Jika
kau melihat orang kafir, jangan sampai hatimu mengatakan bahwa orang kafir itu
pasti masuk neraka. Jangan! Karena bisa jadi, orag kafir itu suatu hari masuk
Islam. Lalu meninggal dalam keadaan Islam. (Kamu belum tentu mati dengan
membawa Islam. Na’udzubillah).
Baca juga:
Begitulah
pesan ulama kepada kita, agar selalu bisa menata hati kita. Sehebat apa pun
kita taat kepada Allah, kita tetap merasa tidak lebih baik dari orang lain. Taat
saja kita tidak boleh merasa lebih baik, apa lagi kalau tidak taat! Wallahu
A’lam.
Astaghfirullah
min qaulin bi la amalin…
Posting Komentar