Sumber Foto: https://www.kaskus.co.id/ |
Hujan
masih turun satu-satu. Langit gelap. Gemuruh sering terdengar. Ilyas tetap
memantapkan hati untuk berangkat. Berbelanja ke pasar lalu dijajakan lagi ke
plosok desa. Dia pencet starter sepeda motornya. Lalu pergi.
Aku
melihatnya dari belakang. Rombong yang ada di bagian belakang motor masih
terlihat. Di Rombong itulah, Ilyas menaruh hidup keluarganya.
Tak
selang beberapa lama, hujan turun. Lebat sekali. Pak Ilyas -begitu tetangga
memanggilnya- pasti kehujanan. Pasti basah kuyup. Jas hujan dari plastik yang
dia kenakan tidak mungkin bisa menghalangi derasnya hujan.
Aku termenung
di teras rumah. Melempar pandangan ke arah jalan utama desaku. Beraspal tapi
berlubang-lubang. Sesekali aku lemparkan pandangan pada daun-daun pohon di
kejauhan.
“Kasihan
sekali Pak Ilyas. Hujan begini masih harus mengais rezeki,” gumam hatiku.
Mungkin
saja, waktu itu sebenarnya bukan Pak Ilyas saja yang kehujanan. Masih banyak
petani yang masih di sawah menanam padi. Masih banyak orang-orang desa yang
masih di tegal mencari rumput untuk makanan sapi.
Mungkin
saja begitu. Tapi mungkin juga mereka berteduh. Bisa di bawah pohon rindang atau
apalah.
Aku
masih saja termenung. Pak Ilyas berputar-putar dalam pikiranku. Pak Ilyas ini
seorang bapak dari dua seorang anak. Istrinya ikut membantunya menyiapkan
jualan. Kadang juga membuat tikar dan dijual ke pasar.
Anaknya
laki-laki semua. Anak pertamanya dia mondokkan ke pesantren. Anak yang kedua
masih sekolah SD. Dia dan keluarga hidup dari hasil jualan sayur itu.
Pagi-pagi
sekali Pak Ilyas berangkat ke pasar. Shalat subuh dia tunaikan berjemaah dengan
sang istri. Diteruskan dengan membaca surat al-Waqi’ah. Aku tahu itu. Karena
suaranya selalu terdengar ke kamarku.
Pak
Ilyas belanja ke pasar. Lalu menjajakannya ke plosok desa. Bukan sayuran saja
yang dia jual. Ada ikan, tahu, tempe, gorengan, kalau bukan musim hujan juga es
yang bermacam-macam.
Sesudah belanja dan berkangkat untuk menjajakannya, Pak Ilyas seperti membawa
batu besar yang ditumbuhi rumput-rumput. Untungnya Pak Ilyas lumayan tinggi.
Kepalanya masih bisa terlihat.
Musim
hujan seperti sekarang ini, pasti membuat pekerjaan Pak Ilyas semakin berat.
Dia harus ‘bertarung’ dengan hujan. Dia juga harus ekstra hati-hati di jalan
karena jalan di plosok desa pasti becek dan licin.
Ditambah
lagi jalan yang naik-turun, kadang harus melewati jembatan yang tanpa pagar.
Baca Juga : [Cermin] Petuah Nikah dari Sesepuh
Aku
kadang membeli jualan Pak Ilyas. Biasanya sesudah beliau pulang dan jualannya
masih tersisa. Kadang aku pesan agar jualannya tidak dijual semua. Kadang ibuku
sendiri yang pesan ke Bapak Ilyas.
“Hujan
begini masih mau jualan pak?” tanyaku beberapa hari yang lalu.
“Iya
cong. Anak bapak yang di pesantren katanya uangnya sudah habis. Bapak harus
segera mengirimnya uang lagi,” sahutnya.
Sejak
saat itu, aku tidak pernah meminta yang mahal-mahal lagi ke bapak dan ibuk.
Posting Komentar