Pemotret: @fakhrualong |
Dulu saya pernah ikut lokakarya tentang kepemudaan. Acara ini diadakan oleh komunitas Sahabat Muda Surabaya. Kata pemateri, Islam sangat disiplin dalam mengatur kehidupan. Umur tujuh tahun seorang anak diajari sholat, saat berumur 10 tahun dipukul jika tidak mau sholat.
Diharapkan
ketika sudah baligh, anak itu sudah rajin sholat fardu. Tidak usah
disuruh-suruh lagi. Jika sudah baligh tapi sholat fardunya masih
bolong-bolong, berarti orang tua gagal mendidiknya. Seorang anak juga gagal
mendisiplinkan dirinya. Apalagi sudah mahasiswa tapi sholatnya masih
bolong-bolong.
Nah,
ketika umur 25 tahun, anak muda sudah matang dalam karir. Umur 25 seharusnya
sudah menjadi manager. Artinya, anak muda yang berumur 25 tahun sudah berhasil
mendisiplinkan dirinya, sholatnya sudah istikamah, ibadahnya sudah cukup mapan,
karirnya juga sudah matang.
Kalau
saya pikir-pikir benar juga. Rasulullah ketika berumur 25 tahun sudah menjadi
pemuda sukses. Bagaimana tidak, beliau sudah menjadi pebisnis ulung sehingga
dagangannya laku keras. Bisnis beliau juga bukan kece-kece tapi sudah berkelas
internasional.
Beliau
mahir dalam berdagang bukanlah hal yang Abracadabra. Sejak kecil beliau
memang sering bersinggungan dengan bisnis. Ketika umur 12 tahun, beliau diajak
pamannya, Abu Thalib berdagang ke Syam.
Ketika
beliau beranjak dewasa, beliau berdagang sendiri. Teman dagang beliau adalah Saib.
Tak heran, jika ketika berumur 25 tahun, beliau benar-benar ahli. Karena beliau
sudah memulai proses yang panjang.
Kuliah Sambil Kerja atau Hanya Fokus Kuliah?
Kira-kira
bisa nggak kita meniru Rasulullah? Umur 25 sudah menjadi orang keren. Umur 25
sudah punya keahlian yang mapa. Umur 25 sudah memiliki karir yang gemilang. Bisa?
Untuk
hal itu, kita bisa berlatih sejak masih sekolah atau ketika kuliah. Kuliah sambil
kerja. Hal ini membuat kita memiliki banyak waktu untuk melatih keahlian. Kelak
ketika umur 25, keahlian itu benar-benar matang.
Apa
lagi, ada motivasi keren dari ulama salaf untuk anak-anak muda yang bekerja. Motivasi
itu dikemukakan oleh Syaikh Ayyub as-Sakhtiyani. Kemudian Imam Ahmad bin Hambal
menuliskannya dalam buku beliau yang berjudul Al-Wara’.
Motivasinya
begini, “Wahai anak muda, bekerjalah kalian! Sehingga kalian tidak butuh
mendatangi pintu-pintu orang (untuk meminta-minta).”
Syaikh
Abdurrazaq mencoba menjabarkan wasiat ini. Menurut beliau, sebagaimana
termaktub dalam kitabnya, Min Washôyâ as-Salaf Lisy-Syabâb, selain sibuk
mencari ilmu pengetahuan, anak muda juga harus punya penghasilan. Penghasilan
itu digunakan untuk kebutuhan dirinya dan keluarganya. Sehingga tidak usah
meminta-minta kepada orang lain.
Saya
jadi teringat cerita guru sosiologi saya dulu di pesantren. Katanya, beliau
punya teman kuliah, temannya itu bekerja sebagai penjual koran. Ketika libur
kuliah, dia berjualan koran. Lama tidak bertemu, eh ketika bertemu dia
sudah sukses. Jadi dosen, jadi ini dan itu. Pokoknya keren lah.
Teman-teman
kuliah saya juga rata-rata sambil kerja. Ada yang ngajar, ada yang jualan
jajan, kerudung, kaca mata, ada juga yang kerja di perusahaan, dan seterusnya.
Saya masih ingat betul kata salah satu teman saya. Dia bilang, “Saya sekarang
mulai menata bisnis, sekiranya ketika lulus saya tidak sibuk cari kerja, tapi
sudah ada bisnis yang saya geluti.”
Baca : Hidup di Era Digital, Kadang Seru Kadang Pilu
Nah,
begitulah kelebihan mahasiswa yang kuliah sambil bekerja, ketika selesai kuliah
dia tidak perlu repot lagi mencari pekerjaan. Beda halnya jika kuliah tidak
sambil bekerja, ketika lulus masih sibuk mencari pekerjaan. Kalau tidak memiliki
pekerjaan, bisa menganggur dalam beberapa saat. Dan bisa dipastikan juga, pada
saat-saat penantian itu, pikiran benar-benar puyeng.
Namun
demikian, boleh juga fokus kuliah. Mengasah intelektualitasnya sehingga
benar-benar mumpuni. Kelak setelah wisuda bisa langsung digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Jadi terserah saja, mau fokus kuliah sambil kerja
atau fokus kuliah.
Kalau
saya memilih fokus kuliah, tapi juga sambil kerja. Hehehe. Untuk sementara ini,
saya jualan buku. Kalau ingin tahu buku-buku yang saya jual, bisa klik di sini!
Kalau minat, japri aja ya! *Iklan (+_+).
Bekerja itu Dapat Pahala Loh!
Bekerja
itu mulia. Bekerja juga bisa bikin kita mendapat pahala. Asalkan baca dulu
tulisan ini sampai selesai. Wkwkwk.
Imam
Al-Ghazali menulis sebuah cerita dalam kitabnya, Ihya’ Ulumiddin. Di suatu
pagi sekali Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat. Lalu mereka melihat
seorang pemuda yang tegap dan kuat. Pemuda itu melangkah mantap untuk berangkat
kerja. Seketika ada omongan miring dari orang-orang yang berada di sekitar
Rasulullah.
“Bagaimana
pemuda ini. Andai saja masa muda dan kebugarannya digunakan di jalan Allah!”
Mendengar
hal itu, Rasulullah menegur mereka. Kata beliau:
“Jangan
mengatakan seperti itu! Karena jika dia bekerja untuk dirinya agar tidak meminta-minta
pada orang lain, maka dia termasuk orang yang berjuang di jalan Allah. Jika dia
bekerja untuk kedua orang tua atau keluarganya yang tidak mampu supaya kehidupan
mereka cukup, maka dia termasuk berjuang di jalan Allah. Namun jika dia bekerja
untuk menyombongkan diri dan memperbanyak harta saja, maka dia berada di jalan
setan.”
Dengan
demikian, bekerja bisa saja berbuah pahala, asalkan niatnya baik. Misalnya,
bekerja agar tidak meminta-minta, bekerja agar bisa kuliah, bekerja agar bisa
menyekolahkan adik, bekerja agar meringankan beban orang tua, bekerja agar bisa
bersedekah, bekerja agar segera nikah (ups, Hehe), maka keringat yang menetes
karena lelah bisa berbuah pahala.
Namun,
jika bekerja tetapi niatnya tidak ditata, maka bekerja tidak akan mendapatkan
pahala. Bahkan bisa sejalan dengan setan durjana. Misalnya bekerja agar mendapatkan
uang banyak dan akan dipamerkan kepada teman-teman.
Segala
hal memang bisa menjadi ibadah asalkan tahu ilmunya. Mungkin karena itulah kita
tidak boleh lelah belajar. Kata Edgar Faure, Lifelong Learning; “Belajar
sepanjang hidup”. Dalam Islam, minal mahdi ilallahdi. Belajar dari pangkuan
ibu sampai di pelukan pusara.
Orang yang Bekerja Mencari Rezeki yang Halal Akan Masuk Surga
Saya
ingin mengakhiri tulisan ini dengan cerita inspiratif yang dikemukakan Imam
Al-Ghazali dalam Ihya’-nya. Cerita itu sebagaimana berikut:
Suatu
ketika Imam Auza’i bertemu Syaikh Ibrahim bin Ad’ham yang sedang membawa seutas
kayu bakar di pundaknya.
“Wahai
Ayah ishaq, sampai kapan engkau akan bekerja seperti ini. Teman-temanmu siap
mencukupi kebutuhanmu,” kata Imam Auza’i berkata kepada Syaikh Ibrahim bin
Ad’ham.
“Biarkan
aku begini wahai ayah Umar! Karena aku mendengar bahwa siapa pun yang berada di
posisi sengsara karena mencari rezeki halal maka dia wajib masuk surga,” jawab
Syaikh Ibrahim bin Ad’ham.
Posting Komentar