Sumber Foto: https://www.tagar.id |
Hidup
di era digital seperti saat ini memang seru. Dunia seakan tanpa sekat, jarak
jauh terasa dekat. Bagaimana tidak, peristiwa yang terjadi di berbagai belahan
dunia dengan mudah kita ketahui informasinya. Berbelanja pun tidak perlu
repot-repot mendatangi toko. Cukup buka handphone, memilih barang yang kita
inginkan, pesanan akan datang. Luar biasa. Seperti di Surga.
Saya
sendiri memiliki banyak kisah dan pengalaman hidup di era digital ini. Tapi,
saya akan menceritakan tiga saja. Bagi saya tiga kisah ini begitu berarti.
Tentunya juga mengispirasi dan memotivasi diri untuk selalu menghasilkan karya
luar biasa. Ternyata hidup di era digital tidak sulit untuk menjadi orang yang
lebih baik. Insyaallah. Asal kita mau saja.
Menulis, Berbagi, Lalu Bahagia
Pengalaman
pertama: saya suka menulis. Biasanya saya menulis keislaman, motivasi, dan
inspirasi. Tiga tema ini termasuk paforit saya. Tulisan-tulisan itu saya kirim
ke media online. Kadang di media sosial sendiri seperti Facebook dan Instagram.
Kadang juga di blog peribadi, baik di www.saifuddinsyadiri.com atau di santreh.blogspot.com.
Saya
kaget dan terharu biru ketika ada orang nge-DM, “Saya suka karyamu”. Eh,
ternyata ada yang baca juga. Bahagia sekali saat mendapat apresiasi seperti
itu. Sering juga ketika bertemu teman yang lama tidak berjumpa, dia bilang,
“Wah, jadi penulis neh. Bagus-bagus pula tulisannya.” Saya tersenyum. Wah, dia
sering mengintip tulisan-tulisan saya.
Bahkan,
ada seorang yang nge-chat saya di WA. Dia berterimakasih banyak kepada
saya. Katanya, dia membaca tulisan saya di media online. Lalu dia menjadikan
tulisan saya itu sebagai salah satu referensi tugas kampusnya. Alhamdulillah,
rasanya tidak sia-sia mengkaji lalu menuliskannya. Tidak sia-sia karena
bermenfaat untuk orang lain.
Ada
pula salah satu teman saya yang juga penulis. Ketika bertemu saya pada suatu
hari, dia mengpresiasi tulisan saya. Katanya, “Tulisanmu keren loh.
Menginspirasi. Itu loh yang berjudul “Zuhud dari Follower”.” Wah, diapresiai
penulis hebat neh.
Dari
sanalah, saya tetap berusaha istikamah menulis. Siapa tahu ada yang baca lalu
membuat mereka hijrah menjadi lebih baik. Di era digital ini konten negatif
sangat mudah diakses, maka kita berkewajiban membuat konten positif juga mudah
diakses.
Bisa Makan Berkat Online
Pengalaman
kedua: Bisa dibiliang saya termasuk orang yang beruntung. Orang tua masih
lengkap. Mereka juga selalu mensuport keinginan saya, utamanya dalam masalah
pendidikan. Tak heran, saat saya ingin kuliah, mereka mengiakan dan sanggup
menanggung biaya kuliah saya.
Akan
tetapi, saya punya prinsip tidak ingin membebani orang tua. Maka sambil kuliah,
saya mencari aktivitas yang bisa menghasilkan uang. Saya pernah bantu-bantu di
sebuah musholla selama dua tahun, imbalannya makan gratisan dan uang jajan.
Saya juga nge-private anak-anak SD, anak TK, kadang juga ibu-ibu, Alhamdulillah
mereka juga memberikan uang jajan kepada saya. Cukuplah untuk beli bensin dan
ngopi di warkop samping kampus.
Saya
juga pernah menjadi tukang potret seroang pejabat. Nah, pada masa ini
saya makmur banget. Tempat tinggal gratis, uang untuk beli paketan dikasih,
uang untuk berlebaran juga disediakan. Enaklah pokoknya. Tapi ya capek juga.
Bahkan, kadang saya tidak ada waktu untuk mengasah intelektual. Saya siasati
saja. Saat ikut dengannya, saya bawa buku. HP saya isi dengan buku-buku PDF.
Jadi saat waktu senggang atau saat dalam mobil menuju tempat tujuan, saya baca
buku dan PDF yang saya bawa.
Namun, yang namanya hidup pasti berputar.
Kadang di atas kadang di bawah. Kadang enak, kadang tidak. Pada suatu ketika,
apa yang saya bangun itu hancur. Saya harus mulai dari awal lagi. Rezeki juga
semakin sulit saya dapatkan. Oh Tuhan.
Saya
putar otak. Apa ya kira-kira yang bisa mendatangkan uang? Saya ada ide. Gimana
kalau jualan buku. Saya kontak teman-teman yang berjualan buku. Lalu saya
dikasih nomer seorang distributor di Surabaya. Saya calling, terjadilah
kesepakatan. Saya jadi dropshiper.
Saya
pajang foto-foto buku di story WA. Banyak yang nge-chat saya.
Menanyakan harga, menanyakan tentang buku, dan seterusnya. Singkat cerita, ada
dua pemesan. Wah, saya bahagia neh. Punya uang untuk makan. Padahal, waktu itu dompet
saya memang sedang kempes-kempesnya. Eh, ternyata di era digital ini gampang ya
cari uang. Cukup pajang foto buku di story WA, dapat deh. Gak perlu modal kok.
Bisnis
buku ini terus saya geluti. Distributor sangat percaya pada saya. Sampai-sampai
dia menyerahkan buku satu kardus besar kepada saya tanpa jaminan apa-apa. Saya
juga mulai mencari pasokan buku dari penerbit-penerbit lain. Kita deal.
Semoga saling menguntungkan.
Ternyata,
dalam aktivitas itu memiliki kebahagiaan sendiri-sendiri. Jika kita mengajar,
kita akan merasa bahagia sekali ketika anak yang kita ajari bisa memahami
pelajaran. Jika kita jualan, kita akan merasa bahagia jika jualan kita laku. Oh
luar biasa. Apalagi labanya banyak.
Insyaallah,
di era digital ini, kita mudah menjadi orang sukses. Asal kita mau berusaha
saja. Yakin! Hasil tidak akan menghianati proses.
Namun
demikian, dunia itu berputar. Kita tidak akan selamanya ada di atas. Makanya
kata orang bijak, saat ada di atas jangan sombong. Tetap sering-seringlah
melihat ke bawah. Seperti bisnis buku saya ini. Saat awal-awal jualan, laku
keras. Sekarang semakin nahas. Perlu mengevaluasi diri untuk bangkit kembali.
Bismillah. Di era digital, kita bisa! Kita milenial hebat kok!
Terlanjur Cinta, Ternyata Dia Dusta
Pengalaman
ketiga: Fasilitas yang ada di era digital ini tidak hanya menjadikan hidup
kita seru, tapi juga bikin sendu. Bagaimana tidak, hati sudah terjerat
cintanya, malah dia berdusta. Ditanya dengan baik-baik, jawabannya malah
melahirkan pertanyaan baru.
Ya,
ceritanya begini. Entah bagaimana awalnya, saya mengenal seorang akhwat di FB.
Profilnya tidak ada foto, hati saya langsung bilang, wanita ini insyaallah
salihah. Ada niat baik di hati saya, juga ada harapan besar di dada, semoga
saya dan dia jadi kita.
Lama
ngobrol, ternyata dia se-almamater dengan saya. Kita satu sekolah. Hati saya
tambah yakin. Saya juga tambah kepo. Saya tanya alamat rumahnya, dia
satu kabupaten dengan saya. Hati saya tambah yakin. Saya merasa cocok. Bahkan
di tengah obrolan, pernah ada kata “Istikharah” untuk meminta petunjuk kepada
Allah.
Jujur
saja, saya jatuh hati kepadanya. Padahal kita tidak pernah berjumpa. Apa benar,
kita bisa jatuh cinta kepada seseorang yang belum pernah kita lihat rupanya?
Menurut Imam Al-Ghazali bisa saja. Misalnya, ada seseorang yang menceritakan
seorang gadis kepada kita. Disebtukanlah ciri-ciri gadis itu. Parasnya yang
cantik, suaranya yang lembut, budinya yang baik, dan seterusnya. Lambat laun
kita akan mencintainya.
Makanya,
ketika ada rasa tak biasa dalam hati, saya biarkan saja. Mungkin ini sama
dengan konsep cinta yang dibahas Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddinnya.
Lama-lama
saya tanya lagi alamat lengkap dia. Saya ingin berkunjung ke rumahnya. Dia
tidak menjawab dengan lengkap. Saya tidak putus asa. Saya terus menanyainya.
Dia tetap tidak menjawab. Saya mulai sadar, benar nggak sih ini orang?
Saya
kepo deh. Saya tanya ke teman perempuan saya di sekolah. Apa ada akhwat
yang namanya ini, tinggalnya di sini, biasanya jaga perpustakaan, teman saya
tidak tahu. Bahkan teman-temannya juga tidak ada yang tahu.
Waduh,
ternyata saya terkibuli. Dasar era digital! Tidak hanya bikin seru, tapi bikin
rindu yang mengiris luka sembilu. Jujur, saya sakit banget waktu itu. Sejak
saat itu, saya hati-hati menaruh hati, takut tersakiti lagi. hehehe
Yah,
itulah diantara kisah dan pengalaman saya hidup di era digital. Ada serunya,
juga ada pilunya. Makanya, kita harus hati-hati, agar hidup kita di era digital ini bisa mendatangkan bahagia bukan luka yang menganga. Semoga!
Posting Komentar