Dalam sebuah acara kelas menulis, ada seorang wanita bertanya pada
pemateri. Pertanyaannya seputar buku bacaan. Sebelum bertanya, dia bercerita. Ceritanya
bikin saya bergumam, “Oh gitu ya”.
Ceritanya begini, dulu saat masih belum bersuami, dia suka baca
buku sastra. Baca novel, baca cerpen, dan seterusnya. Namun, setelah
berkeluarga, buku bacaannya berubah. Bukan lagi buku sastra.
Buku yang dia sering baca adalah buku resep. Utamanya resep
memasak. Kebetulan dia memang belum bisa memasak. Selain resep masakan, dia
juga sering membaca buku bagaimana menjadi istri sholehah.
Teman-teman yang hadir, bersuit-suit saat mendengar cerita ini.
Bagi saya, ceritanya mengharukan. Sekaligus muncul ide untuk menulis buku tips
menjadi istri sholehah. Mungkin juga tips menjadi suami sholeh.
Teringat bebera bulan lalu. Saya membaca sebuah artikel, tentang “wanita
memasak”. Dalam artikel itu, seakan penulis tida terima, kenapa wanita harus memasak.
Saya lihat profilnya, dia memang seorang wanita.
Penulis itu membeberkan, sampai seusianya yang sekian, dia masih
belum bisa mencintai dapur. Padahal sering berkutat dengan dapur. Seperti waktu
bantu ibunya, juga ketika ngekos karena kuliah.
Tulisan artikel itu membuat saya bertanya-tanya, apakah seorang
istri memang merasa terpaksa memasak untuk suaminya ? Tapi ibu saya
kelihatannya enjoy-enjoy saja.
Sampai pada suatu ketika, saya berkesempatan bertanya kepada
seorang teman. Teman saya ini sudah berkeluarga. Dia juga jago masak. Saya dan
teman-teman yang lain sering kali dimasakin sama dia.
Saya nyobak bertanya,” Bund, masakin suami itu gimana sih rasanya?”
saya memang lebih senang memanggilnya “Bunda”. Teman-teman yang lain manggilnya
“Emak”.
“Wah If, bisa masakin suami itu sesuautu banget. Bahagia banget. Kebahagiaannya
tidak bisa diungkapkan,” jawabnya.
“Saya itu capek masak. Tapi ketika udah selesai, lalu makan berdua
dengan suami tercinta, bahagia If !. Bahagia banget !,” lanjutnya. Wah Bund,
bikin saya baper aja.
“Lebih bahagia mana, makan berdua sama suami hasil masak sendiri
atau makan berdua sama suami tapi beli ?” saya bertanya lagi.
“Tetap lebih senang masak sendiri If. Apa lagi kalau suami itu
makannya lahap. Suami suka ke masakan kita. Nambah bahagianya !”
***
Di akhir tulisan ini, saya hanya ingin bertanya pada yang di
seberang takdir sana, “Hai Dik… bisakah kau masak untuk kita makan bersama ?”
Posting Komentar