Tadi
malam, selepas shalat Isyak, saya sowan ke kiai-kiai desa Pejangkungan. Ada dua
Pondok yang saya sowani: PP Darussalam dan Darul Falah 11. Di PP Darussalam
saya tidak bertemu dengan pengasuhnya, karena pengasuh ingin miyus (perjalanan).
Alhamdulillah, di PP Daru Falah 11 saya bertemu dengan pengasuhnya.
Saya
bertiga dengan teman KKN saya. Pertama-tama, saya utarakan bahwa kita ingin
silaturrahim. Maklum kita pendatang. Tentu kita juga ingin arahan dan nasehat
dari beliau. Sayangnya, sampai selesai sowan, saya tidak menanyakan nama
pengasuh itu.
Pondok
Darul Falah sudah lama ada di desa pejangkungan. Dulu pernah banyak santri yang
tinggal di pondok. Sekarang sudah tidak ada. Sekarang cuma anak-anak desa yang datang
mengaji. Juga, masyarakat setempat yang masih rutin ikut pengajian beliau.
“Yah,
kalau kata kiai dulu, kalau waktunya ngajar ya ngajar. Kalau gak ada santri, ya
dibuat dzikiran saja sampai waktunya habis,” kata kiai yang kira-kira berumur
50-an tersebut.
Saya
sempat menawarkan program kepada sang kiai. Utamanya dalam pendidikan, termasuk
pendidikan tulis menulis. Saya katakana, pendidikan tulis menulis sangat
penting bagi santri. Karena sekarang perang opini melalui tulisan. Santri yang
memiliki ilmu mumpuni harus mewarnai dunia tulisan.
Akan
tetapi, program kita tidak bisa dilaksanakan di pondok Darul Falah 11. Karena
tidak ada santri yang muqim, juga santri kampung yang ngaji lagi liburan.
Saya
tidak apa-apa. Saya merasa saja, berkiprah di masyarakat itu tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Boleh jadi kita memiliki kemampuan, tapi masyarakat
tidak membutuhkan. Boleh jadi masyarakat butuh, tapi mereka tidak percaya
kepada kita. Kata teman saya, KKN itu gambaran setelah kita lulus kuliah.
Nasehat Kiai PP Darul Falah 11
Di tengah
perbincangan, sang kiai juga memberi nasehat kepada kita. Tentang banyak hal. Saya
tulis nasehat beliau dengan bahasa saya sendiri. Saya translit ke bahasa
Indonesia. Karena nasehat beliau menggunakan bahasa Jawa dan saya nggak bisa.
hehehe.
Nasehat
beliau:
“Dalam
hidup ini, kita harus soro (susah). Shoro itu dalam bahasa arabnya
memiliki arti jadi. Orang yang soro, nanti akan jadi (orang sukses, pen).
Kalau anak sekarang kan tidak. Mereka minta penae (enaknya) saja. Waktu
kuliah minta enak, setelah kuliah minta enak. Kiai dulu itu soro. Baru mereka
jadi.”
“Kita
juga harus istikamah (di jalan Allah, pen). Orang istikamah itu (hatinya,
pen) bersinar. Jadi kalau memberi nasehat, cepat meresap ke hati
masyarakat. Seperti ulama dulu. Nah sekarang banyak muballighnya. Tapi apakah nasehatnya
sudah meresap ke hati masyarakat ?”
“Ilmu
kalau ingin bermenfaat, harus selalu irtibath (sambung) dengan guru. Jika
santri ingin ilmunya bermenfaat, ya harus sambung terus dengan gurunya. Sekarang
kan banyak, santri lupa pada gurunya,”
“Kalau
masalah rezeki, serahkan saja kepada Allah. Allah pasti ngasih. Cuma kalau
ingin umurnya berkah, rezekinya banyak, ya jaga sikap pada orang tua (Berbuat
baik pada orang tua dan jangan menyakiti mereka, pen)”
Itulah
segelintir nasehat yang masih saya ingat. Kalau ada kesalahan, itu murni
kesalahan saya. Mungkin saya salah faham, salah mendengar, atau keliru dalam
menerjemahkan.
Selang
beberapa lama, ada tiga orang datang. Ternyata masyarakat sekitar. Dari pembicaraannya,
mereka merembukkan acara RT dengan pak Kiai.
Kemudian
Pak Kiai minta kepada kita untuk menjadi MC dan Qari untuk acara tersebut. Kita
meng-iakan. Kita juga diminta ikut khataman Alquran dalam rangka peringatan 17
Agustus di RT 17. Saya minta No HP pak RT 17. Lalu kita pamit. Karena kita
ditelfon. Katanya, di Basecamp KKN ada tamu.
Bismillah…
Bermenfaat.
Posting Komentar