Kebun Teh, Malang |
Saya bercita-cita ingin menjadi penulis. Tulisan saya tersebar di mana-mana. Buku-buku saya singgah di berbagai toko buku terkenal. Bahkan, buku-buku saya menjadi best seller.
Saya menjadi pun terkenal. Eh, lebih tepatnya menjadi orang yang bermenfaat. Banyak lembaga yang mengundang saya mengisi seminar, mengisi workshop, mengisi pelatihan-pelatihan kepenulisan. Kadang, mengisi motivasi keislaman, karena memang tulisan saya islami.
Deg. Masak iya saya ingin menjadi penulis, menjadi seperti yang saya uraikan di atas ? Diam sejenak. Merenung sedalam-dalamnya. Tidak. Saya tidak ingin menjadi seperti yang saya uraikan di atas. Itu semua keinginan bohong. Keinginan palsu. Loh, kenapa ? Karena keinginan tidak sesuai dengan kenyataan.
Saya ingin menjadi penulis terkenal, tapi apakah setiap harinya saya menulis ? Saya ingin menjadi penulis yang bukunya best seller, tapi apakah setiap harinya saya berkarya ? Atau apakah setiap harinya saya membaca ? Atau apakah setiap harinya saya mengkaji data-data.
Tidak. Saya lebih sibuk dengan hal yang seharusnya tidak saya sibuki. Saya lebih memprioritaskan apa yang seharunya tidak menjadi prioritas.
Ah, jadi teringat sebuah puisi dari seorang penyair. Kalau tidak salah tercatat dalam Kitab Bustanul Wa’idzin, karya Ibnu al-Jauzi. Bunyinya seperti ini,
ترجو النجَاة وَلم تسلك مسالكها ... إِن السَّفِينَة لَا تجْرِي على اليبس
“Kau ingin sukses, tapi tidak meniti jalan kesuksesan. (Mana mungkin bisa sukses?) Bukankah kapal saja tidak bisa melintasi daratan ?”
Kalau menulis tidak menjadi kesibukan saya setiap hari, mana bisa menjadi penulis ? Iya kan ? Gimana saya ini? Aneh ya. Betul kata teman saya, pada suatu waktu, kita memang harus menertawakan diri sendiri.
Mungkin, saya ini sama dengan jomblo. Ingin secepatnya punya kekasih, tapi diam saja. Katanya, jodoh gak bakal ke mana. Iya betul sih. Tapi, kalau tidak ikhtiyar, tidak berusaha, masak bisa dapat ? Kapal saja tidak bisa melintasi daratan kok!
Saya jadi teringat pengalaman saya di desa. Suatu pagi, ada paman jauh main-main ke rumah. Beliau ini sebenarnya saya anggap guru. Sebab, dulu saat saya kelas 5 MI, beliau ngajari saya ilmu gramatika Arab. Nama kitanya Mukhtashor Jiddan. Beliau ke rumah ditemani anaknya. Anaknya itu teman akrab saya.
Entah siapa yang memulia, tiba-tiba obrolan sampai ke masalah jodoh. Kebetulan teman saya itu memang sudah meminang dan diterima. Saya mah enteng saja jawabanya. “Terserah takdir,” kata saya. Eh guru saya itu malah menjawab,
“Iya terserah takdir. Tapi kalau gak dijemput, ya gak jadi takdirnya.”
Hehehe, saya tersenyum saja. Memang iya, takdir itu harus kita usahakan.
Kalau tidak salah, Sayyidina Umar pernah mengatakan begini tentang takdir, “Lari dari takdir, ke takdir yang lain.” Apa pun yang terjadi pada diri kita, ya takdir. Tapi agar takdir itu indah, ya harus berusaha. Mungkin seperti itu maksdunya.
Ada cerita lucu masalah takdir ini. Pada suatu ketika, ada seorang santri melanggar pelaturan pondok. Dia ketahuan. Dia disidang oleh pihak keamanan. Dalam sidang, dia ditanya kenapa melanggar. “Ini takdir pak,” katanya.
Langsung saja kemanan memukulnya. “Loh, kok saya dipukul,” si santri protes. Pihak kemanan menjawab santai, “Itu juga takdir”.
Ya begitulah. Kadang, kita berusaha menjadi orang gagal dengan mengkambing-hitamkan takdir. Takdir dijadikan alasan. Kata pepatah bijak, “Orang gagal selalu punya alasan untuk gagal”.
Semoga saja saya berubah. Saya bisa lebih aktif menulis. Saya bisa lebih produktif. Lebih rajin membaca. Bisa memprioritaskan yang seharusnya prioritas. Sehingga takdir saya lebih indah. Yang jelas, mencapai keinginan harus berani menabark rintangan. Harus berani lelah dan susah. Kata sebuah film, “Kesuksesan yang ktia dapatkan dengan gampang, runtuhnya pun akan gampang”.
Terakhir, ada pepatah arab yang mungkin bisa kita jadikan penyambuk semangat. Bunyinya, Al-Ajru Biqodrit Ta’ab. Pahala tergantung kadar keletihannya. Atau juga bisa diartikan, kesuksesan tergantung kadar prosesnya.
Posting Komentar