Sudah sekian kali saya tidak berlebaran di rumah. Sekian kali pula saya merasakan perasaan yang sama: sedih. Memang, di tempat “rantau” kelihatannya lebih asyik karena banyak kegiatan. Mulai persiapan menyembelih kurban -karena kebetulan saya dipercayai menjadi sekretaris dalam kepantiaan kurban- sampai takbir keliling. Beda dengan rumah saya yang cendrung biasa-biasa saja. Maklum desa. Kurbanan tidak seramai kota. Bahkan, mungkin tidak ada satupun yang berkurban. Meski begitu, rumah tetap menyelinap di sela-sela kegiatan saya di tanah rantau.
Teringat dulu saat awal-awal mondok. Ketika hari raya kurban datang dan takbiran bersahutan, rasanya ada yang menusuk-nusuk. Ingat suasana rumah. Bersama keluarga. Sederhana, tapi indahnya rasanya luar biasa. Tanpa terasa, air mata mengalir deras kala itu. Saya mencoba menutupi tangisan itu dengan
menutupkan sorban di wajah. Ternyata, bukan saya saja yang menangis. Santri-santri baru banyak yang menangis. Bertahun-tahun kemudian, setelah saya jadi senior, saya memaklumi jika melihat santri-santri baru menangis saat Idul Adha. Pasti teringat rumah.Sekarang, saya tidak di pondok lagi. Juga bukan di rumah. Anggaplah di tanah rantau. Rumah masih saja terbayang-bayang. Ingat kakek, nenek, dan sanak famili. Juga, ingat keluarga tersayang, ayah, ibu, dan adik-adik. Sedang apa yamereka? Dalam hati terbesit, betapa beruntungnya mereka yang memiliki kesempatan berlebaran kurban bersama keluarga. Allah… Engkaulah yang mengatur segalanya.
Saya yakin, saya bukan satu-satunya orang yang berlebaran kurban di tanah rantau. Dan, saya yakin mereka merasakan perasaan yang sama dengan saya. Di balik kamar kos, di balik rumah kontrakan, bahkan mungkin di warung-warung pinggir jalan, ada ingatan yang melayang-layang ke kampung halaman. Menahan tangis. Menahan deraian air mata. Ya, beginilah hidup. Kadang, demi sesuap nasi, demi anak-istri, demi masa depan, banyak yang dikorbankan dan menjadi korban. Termasuk kebersamaan.
Tadi saja, setelah salat maghrib selesai dan takbir dikumandangkan Imam, teman sebaya saya nangis sesenggugkan. Air matanya mengalir. Dia diam sendirian di kamar. Saya yang melihatnya diam saja. Tidak berkomentar. Ya saya langsung menebak, pasti ingat rumah.
Inilah secarik cerita di tanah rantau. Saat hari-hari besar dan tidak bisa bersama keluarga. Semoga menjadi renungan bagi mereka yang masih bersama keluarga. Moga-moga!
Posting Komentar