Cerita ini tentang sahabat, cinta dan luka. Luka bukan karena persahabatan kita. Juga bukan karena cinta kita, tapi karena lukisan keyakinan dalam hati, tentang tirakat. Ya, tirakat cinta. Ada sebuah keyakinan, bahwa cinta suci adalah cinta yang ditirakati. Cinta yang ditirakati akan melahirkan bidadari dan benih-benih pelita hati. Entahlah. Itu hanya keyakinan sebagian orang. Tapi, dalam sejarah kehidupan, keberadaannya dapat dibuktikan. Orang yang mentirakati cintanya, akan mendapatkan purnama dan bait-bait aksara cinta yang membentuk doa.
***
Dari perkenalan tidak formal, kita menjadi sahabat seperjuangan. Aku, Amel, dan Riska. Saat ada tugas dari organisasi, kita bersama mengerjakannya. Asa, senyum, tawa, nestapa, dan kecewa silih berganti di hati kita. Kita memang harus berjuang. Setapak demi setapak membangun asa. Membangun jiwa. Membangun kerakter sejak muda. Agar nanti ketika tua, kita sudah bisa memetik buahnya.
Kuakui, aku belajar banyak dari Amel dan Riska. Mereka memang sahabat tangguh. Peduli tanpa pamrih. Aku sering diajak intropeksi diri. Menghitung-hitung amalku. Katanya, biar aku menjadi diri sendiri yang sempurna. Padahal, mereka bukan ibuku, bukan bibiku, bukan saudaraku. Mereka mengaggapku penting. Setidaknya untuk diriku sendiri. “Keraktermu dibangun!” ucap salah satu mereka suatu ketika.
Sungguh, mereka memang menyejukkan. Friendly, murah senyum, ramah, dan bersahaja. Sampai-sampai aku tidak bisa membedakan tatapan mereka. Tatapan nanar, tatapan gelisah, tatapan harap, tatapan cinta. Tidak ada bedanya. Tatapan mereka sama. Membuat orang lain tersenyum bahagia.
***
Hari demi hari berlalu. Ada yang berbeda. Riska tetap sahabat terbaik, sedangkan Amel tersulap menjadi aksara lain; cinta. Ya, cinta. Baru saja aku menyadarinya. Dan, baru saja aku sadar aku akan terluka. Kenapa? Bukan karena sahabat, bukan karena cinta, tapi karena tirakat cinta.
Sebelum-sebelumnya, aku tidak mengira akan menjadi seperti ini. Aku sekedar teringat sekilas tentang kebersamaan kita. Aku kira hanya perasaan biasa. Tapi, lama-lama semakin menjadi-jadi. Saat mataku terpejam, saat itulah dia menjadi mimpiku. Saat mataku menatap, saat itulah dia menjadi tatapan rinduku. Ah, Amel….
Sejak itulah, Amel menjadi nadi-nadi dalam hatiku. Saat dekat, hati seakan sekarat. Begetar. Berdebar. Membuatku bernafas panjang. Tapi, kau jangan salah faham. Kita tidak kholwat. Kita bertiga. Kita juga dipisah meja. Atau ruang kosong yang begitu berwibawa.
Amel adalah nadi-nadi hatiku. Saat terpaksa melihatnya sesaat, hati seakan sekarat. Berdebar. Bergetar. Membuatku bernafas panjang. Ketika berpaling, ada rasa rindu untuk kembali. Kembali melihatnya lagi. Menitikkan noda-noda dosa.
Amel menjadi nandi-nadi hatiku. Saat tak bertemu, aku begitu merindu. Terasa ada yang menjanggal dalam hatiku. Bahkan, kadang, saat tanpa sengaja menatap fotonya, air mataku ingin tumpah ruah. Mungkin, karena terlalu merindu.
Apakah aku berani mengungkapkannya? Tidak. Aku tidak pernah berani. Kita tetap sehabat. Tidak ada yang berubah. Senyum, tawa, dan canda tetap sama. Mungkin hanya mataku saja yang berbeda. Mungkin hanya hatiku yang berdebar luar biasa. Hati Amel? Entahlah.
Aku terus menjalani kisah ini. Dengan hati nyeri tentunya. Aku terima saja. Aku berharap, suatu saat nyeri ini melukis mutiara. Guruku pernah bilang kurang lebih, “Nak, tirakat terampuh untuk mendapatkan istri sholehah dan anak sholeh adalah menjaga kesucian diri mulai sekarang.”
Jika teringat nasehat itu, aku tidak pernah berani mengungkapkan perasaan. Cinta membara kusimpan. Ngilu, pasti. Tapi hal itu sudah kensekoensi dari pilihan. Pilihanku bulat. Mentirakati cinta untuk mendapatkan bidadari surga. Itu pilihanku. Aku yakin, usahaku pasti ada balasannya. Allah Swt. tidak pernah lupa pada sedikitpun amal hamba-Nya.
Kenapa tidak mencoba menjadikan Amel sebagai bidadari surga? Melamarnya. Entahlah. Mungkin aku pengecut. Tidak berani memperjuangkan cinta. Iya, ini kelemahanku. Cinta yang setiap saat menyayat-nyayat tak pernah kuperjuangkan menjadi rida Tuhan. Tapi, apalah daya. Aku hanya ilalang yang terombang-ambing terpaan angin. Kuliahku belum selesai. Pekerjaan tidak punya. Mana mungkin aku melamarnya? Menurutku, jalan satu-satunya memang harus ngilu. Mencoba melupakan cinta yang telah mengakar kuat. Jika dia jodohku, kita pasti akan bersatu.
***
Tak pernah kusangka, begitu cepat kita harus berpisah. Amel tak lagi di organisasi yang menyatukan kita. Dia berhenti. Aku tidak tahu alasannya. Aku juga tak lagi di organiasi itu. Ada persyaratan yang tidak bisa ku penuhi. Yang masih aktif hanya Riska. Dia menjadi senior. Pembimbing juniornya.
Sakit. Iya. Begitu sakit. Hatiku terasa ditusuk-tusuk paku karat. Ada buncahan dalam hati yang tidak mampu ku obati. Hanya air mata yang sedikit menghilangkan perihnya. Ternyata, dalam hidup ini orang yang kita jumpai silih berganti. Ketika berpisah belum tentu bertemu lagi. Dan, sedikit saja yang dikenang di hati. Sedikit saja yang diingat lagi. Hanya orang yang terasa begitu berarti.
Posting Komentar