Kakek Hasan dan RL Sahabat Muda, Fauzan |
“Dari kemaren belum makan. Tadi pagi cuma minum kopi dan makan ketan.” Ucap kakek tua yang bernama Hasan.
Aku terdiam. Mataku menatap mata temanku. Mengisyarahkan untuk membeli nasi. Nanti, disedekahkan untuk kakek tua ini. Temanku langsung beranjak. Dengan langkah tegap dan tangkas. Seperti langkah para pejuang Palestina melindungi Masjid Aqsha. Bedanya, langkah temanku itu untuk menghapus air mata saudara seiman.
Aku masih bersama dengan kakek yang berumar 67 tahun-an ini. Aku bertanya dan kakek Hasan bercerita. Kakek Hasan bercerita dengan semangat membara. Entahlah. Mungkin karena selama ini dia tidak punya teman untuk sekedar berbagi. Berbagi kesedihan hati yang entah kapan akan berhenti. Sesekali, ku lemparkan pandanganku ke air sungai di samping kami. Keruh. Sekeruh wajah kakek Hasan.
Sedikit demi sediki, akupun mengerti kenapa kakek Hasan ada di sini. Di pinggir sungai. Dekat jalan raya. Tak jauh dari lampu merah. Tertanya, kakek Hasan tidak punya tempat tinggal. Aku tidak tahu kenapa bisa terjadi. Kalau mau tidur, katanya, dia tidur di atas becak milikinya. Dan dapat dipastikan, becak itu terparkir di pinggir jalan raya. Dekat lampu merah. Dan tak jauh dari sungai.
Kake Hasan tidak punya kerjaan. Dia hanya memenfaatkan lahan kosong di tepi sungai untuk menanam kacang. Dari sanalah dia mendapat uang. Kacang itu bisa dipanen tiga bulan sekali. Setelah dipanen, kakek Hasan akan menawarkan pada orang berkendara. Pada orang yang berhenti karena lampu merah. Aku yakin, hasilnya tidak cukup untuk kebutuhan hidupnya. Pantaslah, kalau dia jarang makan.
Sejurus kemudian, aku ajak kakek Hasan duduk di kursi yang dekat dengan jalan raya. Kami bisa ngobrol santai sambil menunggu nasi datang. Kakek Hasan mengiakan. Kami pun duduk. Kakek Hasan melanjutkan cerita. Aku mencoba menjadi pendengar setia.
Kacang Kakek Hasan di pinggir sungai |
Tak selang beberapa lama, teman saya datang. Dia membawa sebungkus nasi dan teh hangat yang diwadahi plastik. Kami menyuruh kakek Hasan makan, tapi dia tidak mau. Katanya, mau makan nanti saja. Dia hanya menyedot teh hangat itu dengan penuh semangat.
Dari cerita kekek Hasan, istri meninggal dua tahun yang lalu. Sang istri meninggalkan kucing. Sekarang, kucing itu berjumlah delapan. Karena beranak pinak. Tampak sekali, kakek Hasan begitu mencintai kucing-kucingnya. Dia bilang dengan bangga, bahwa kucingnya hebat-hebat. Kucing-kucing itu juga setia dan berbakti. Setiap malam, mereka menjaga kecang kekek Hasan sehingga selamat dari tikus. Andai tidak ada kucing-kucing itu, kcang kakek Hasan pasti habis dimakan tikus.
“Pak, di mana sekarang kucingnya?” tanyaku.
“Lagi tidur. Satunya di sana, di sana, di sana,” jawab kekek Hasan sambil menunjuk-nunjuk. Aku lihat tempat yang ditunjuk kekek Hasan. Memang benar. Aku melihat kucing sedang tidur. Tapi, hanya satu. Yang lain aku tidak melihatnya.
Selain menyedihkan, kakek Hasan juga lucu. Bagaimana tidak? Dia meng-KB kucingnya. Katanya, biasanya kucing beranak sampai empat. Tapi, setelah diberi pil KB, kucingnya hanya beranak satu. Ya ampun…. Ada-ada saja kakek ini.
Lama bercerita-cerita, kami pun pamit. Ada secercah kecewa di wajah kakek Hasan. Tapi apa daya. Saya harus pergi. Mencari orang-orang yang senasib dengan kakek Hasan. Mereka juga butuh bantuan. Mungkin, mereka belum makan karena tidak punya uang.
Tak lupa, aku mendoakan kakek Hasan. Hanya itulah yang mampu aku berikan kepadanya. Kakek Hasan meminta kami untuk sering-sering bermain ke tempatnya. Dia bilang, dia pasti ada di tempat itu. Kalau tidak ada, dia keluar cari angin. Kami berdua tidak berjanji. Tapi, Insyaallah kami akan berkunjung lagi. Amin…..
Sepahit apapun hidupmu, syukurilah! Karena di luar sana, masih banyak yang lebih pahit dari hidupmu.
PM Sahabat Muda, sabtu, 02, April, 2016 M.
Posting Komentar