Renungan Catatan Harianku | Tadi aku salat Jum’at di Masjid Akbar Surabaya. Rasanya tenang sekali. Hawanya sejuk. Harum lagi. Aku betah ada di dalam. Apa lagi ketika imam membaca fatihah dan surat. Menggetarkan. Hati merasakan “sesuatu religious” meski tak mampu merenungi maknanya. Begitulah. Al-Quran ketika dibaca memang menenteramkan.
Seusai salat Jum’at, ternyata ada tanya jawab. Waktunya 15 menit. Aku tidak hafal siapa yang menjawab. Yang aku ingat, beliau guru besar di UINSA. Akupun maju untuk bertanya. Moderator menyodorkan mikrofon. Aku ucapkan salam. Lalu menanyakan apa yang membuat hatiku sedih.
“Kita hidup pasti mempunyai keinginan. Akan tetapi, kadang Allah tidak memberikannya. Tentu, hati kita terasa sakit. Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa qana’ah, menerima apa yang diberikan Allah kepada kita?” kurang lebih begitulah pertanyaanku.
Setelah ada tiga penanya, moderator mempersilahkan pada Drs. … itu untuk menjawab. Sebelum menjawab, Pak Drs…. meminta maaf takut-takut jawabannya tidak sesuai harapan.
“Ketika harapan atau keinginan kita tidak tercapai, pasti kita kecewa. Bagaimana cara agar hati kita dapat menerimanya? Maka pertamakali yang harus ditancapkan dalam hati adalah Allah itu lebih tahu tentang kita dari kita sendiri. Mungkin Allah tidak memberi harapan kita karena itu yang terbaik. Karena itu yang cocok dengan kita. Kalau Allah memberikannya, kita tidak mampu. Atau mungkin, harapan itu akan ditunda. Akan diberikan tahun berikutnya. Jadi, agar kita tidak depresi ketika keinginan kita tidak tercapai, berperasangka baiklah pada Allah bahwa apa yang diberikan Allah itu yang terbaik.” Kurang-lebih begitulah jawaban beliau. Aku menganggut puas. Apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik.
Kemudian, guru besar UINSA itu bercerita. “Dulu, saya kuliah jurusan Agama. Setelah lulus, saya mendaftar guru di Probolonggo (entah beliau bilang probolinggo atau bukan. Yang penting di timurnya Pasuruan). Saya berusaha keras. Segala upaya telah saya lakukan. Namun, ternyata saya tidak diterima. Padahal saya sudah berusaha keras. Sayapun kemudian melanjutkan pendidikan. Di kemudian hari, ada lowongan di Depag. Saya mendaftar dan berusaha keras agar diterima. Semua ikhtiar saya lakukan. Tapi, lagi-lagi saya tidak diterima. Tentu, siapa pun yang mengalami seperti saya pasti merasa kecewa. Namun, setelah beberapa tahun kemudian, saya baru menyadari bahwa “tidak diterima” itu yang terbaik. Allahu Akbar. Andai ketika mendafatar di Probolinggo itu saya diterima, betapa jauhnya. Rumah saya di Belitar. Harus ngajar di sana. Saya mungkin juga tidak akan jadi guru besar di UINSA. Juga tidak akan bertemu dengan saudara-saudara. Jadi, berperasangka baiklah pada Allah. Apa yang ditakdirkan Allah itu yang terbaik.
Semuga bermenfaat…
Oleh: Saifuddin Syadiri
Posting Komentar