Cerpen Cinta Islami | Pagi nan indah itu adalah waktu yang paling membahagiakan hati Furqon. Dia dinyatakan sembuh dan boleh pulang dari rumah sakit. Ucapan syukur tak henti-henti teruangkap dari bibirnya. Setelah menjalani perawatan selama kira-kira dua bulan, akhirnya dia diizinkan pulang. Namun, hati furqon tidak seindah senyumnya. Hatinya hancur. Kesedihan memborgol kalbunya. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia juga tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Seakan hujan yang terlanjur menetes. Seakan api yang terlanjur marah. Dia lemah untuk semua itu.
Furqon tetap berusaha tersenyum. Dia tampakkan kepada semua orang. Tetangga, saudara dan ayah-ibunya. Meski saat sendiri, air matanya meleleh tanpa dia sadari. Sakit. Sakit rasanya. Dia merasa dikhianati. Dikhianati sahabat sendiri. Dan dikhianati oleh perempuan yang dia cintai.
Sesekali, furqon teringat saat silaturrahim ke rumah sahabat akrabnya, Gus Mamad. Teringat pada gadis yang mengantarkan suguhan untuknya. Dari sanalah cerita nestapa ini dimulai. Dari sana pula cinta pertamanya mulai berdetak. Dan ternyata, dari sana pulalah paku karat menancap di hatinya.
“Fur….. adakah celah di hatimu untuk seorang gadis?” Gus Mamad suatu ketika bertanya serius kepada Furqon.
“Hehe… puitis banget kamu neh. Orang yang sudah berumur seperti aku ini, pasti lah kepikiran tentang itu. Siapa kira-kira calonku? Siapa yang akan melahirkan anak-anakku?” sahut Furqon dibumbui senyum.
“Kamu pernah ke rumah kan? Dan pernah melihat seorang gadis yang mengantarkan makanan kan? Gadis itu juga seorang hafidzah. Tahun depan insyaallah wisuda di pondoknya. Kalau hatimu menerimanya, aku akan membantumu. Enak kan, seorang hafidz menikah dengan hafidzah. Bisa takror bareng. Hehe.” Canda gus Mamad. “Ini serius loh….” Lanjutnya.
“Dimana rumahnya?” Furqan balik tanya.
“Dia seatap dengan ku. Dia itu ukhti as-shoghiroh.” Kata Gus Mamad sambil beranjak menuju perpustakaan pesantren.
Furqon terkejut. Hatinya ciut. Tidak mungkin dia mempersunting adik Gus Mamad, putri kiai besar.
Hari-hari selanjutnya, pembicaraan diantara Furqan dan Gus Mamad makin serius. Furqon enggan melamar karena dia orang biasa, sedangkan gus mamad selalu meyakinkan bahwa keluarganya tidak pernah menilai orang lain dari keturunan. Akan tetapi dari akhlak dan budi pekertinya.
Entahlah, sejak saat itu, Furqon sering ngelamun. Pikirannya teringat pada seorang gadis yang bernama Alfi Rahmah. Bahkan ketika menakror hafalan al-qur’annya, Neng Alfi –panggilan akrabnya- kadang hadir dalam sajak-sajak ilahi itu. Bahkan suatu ketika, dia tidak bisa sama sekali men-takror hafalannya. Dia tidak bisa konsentrasi. Hafalnnya buyar. “Astaghfirulullah.. maafkan hambmu ini ya allah. Hamba tiada kuasa menahan gejolak rasa. Hamba tiada mampu mengatur nadi-nadi cinta yang terus menderu. Astaghfirullah.” Furqon mulai berpikir, apakah ini yang namanya cinta? Oh tidak. kenpa cinta itu merindu? Kenapa cinta itu menghancurkan segalanya? Kenapa cinta itu malah membuat hafalannya lenyap?
“Sobat, gadismu itu telah membuat hatiku pecah. Dia mengambil serpihan-serpihannya.” Curhat Furqon pada gus mamad.”
“Fur… kau juga telah membuat hatinya pecah. Kau mengambil serpihan-serpihannya.”
Furqon terbelalak. Tatapannya tertuju pada Gus Mamad. Tanpa kata. Tanpa isyarat. Tanpa suara. Susanapun hening. Sebening embun di pagi buta. Mata mereka bertemu. Di sana terlukis harap, cinta, kasih, rindu, cemas, takut dan entahlah apalagi.
“Aku pernah bertanya kepada Alfi, maukah dia dipersunting oleh mu. Dia diam saja. Kemudian dia tersenyum sambil beranjak dariku.” Lanjut Gus Mamad.
“Baiklah. Bulan Sya’ban nanti, saya akan ke rumahmu. Saya akan meng-hitbah Neng Alfi…” Tiba-tiba Furqon menyahut. Suaranya mantap.
Hari pun berlalu. Cinta furqon mulai bersayap. Cinta dalam asa. Dan asa dalam cinta. Kini, dia lebih tenang men-takror. Hafalannya lebih lancar. Tak ada kendala. Sesekali, wajah Alfi memang hadir di sudut matanya, tapi bukan untuk mencegah takrornya. Kehdadira Alfi dalam sanubarinya memecutnya untuk terus terbang setinggi-tingginya. Terbang bersama hafalannya. Terbang bersama cita-citanya. Inikah cinta? Pembawa semangat? Ah, memang cinta itu bervareasi tafsirnya. Tergantung rasa yang sedang manggung di dalam kalbu.
***
“Pulang Fur…. Pulang….. lamarlah Alfi….!” Gus Mamad tergopo-gopo mencegat Furqon yang ingin ke Makam para auliyak. Furqon menghentikan langkahnya. Dia tatap wajah sahabatnya itu dalam-dalam. Kecemasan begitu tampak dalam rona wajahnya. Furqon tetap berusaha tenang, meski hatinya begitu terkejut. Jantungnya berdetak kencang.
“Ada apa akhi..?”
“Alfi dilamar orang akhi… Kiai Sobir yang melamar untuk putranya. Ayah belum menyatakan ia. Saya sudah bilang pada abah bahwa Alfi sudah ada yang melamar. Tapi, kata abah, kalau melamar itu pada abah bukan pada aku. Sekarang, izinlah ke kiai. Pulanglah! Lamar Alfi. Kasihan dia. Hatinya telah pecah dan telah kau ambil serpihannya. Kata abah, abah sulit menolak lamaran Kiai Sobir tanpa alasan yang tepat. Kalau sudah ada yang lebih dulu melamar itu alasan tepat sobat. Dan, kau adalah orang yang lebih dulu melamar Alfi.” Gus Mamad menjelaskan dengan suara terbata-bata. Ada air bening di sudut matanya.
Furqon hanya diam terpaku……
“Saya tunggu kau di rumah sobat….” Kata furqon sambil beranjak pergi.
***
Tanpa pikir panjang, Furqon langsung ke Dalem Pengasuh Pesantren. Dia pamit pulang dengan alasan ingin meng-khitbah. Kiai langsung mengiakan. Ada rasa bahagia dalam hati furqon. Ternyata, kiai mengizinkannya. Apakah ini jalan untuk mendapatkan Alfi? Allahumma yassir umurana….. mudahkanlah urusanku.
Furqon pun langsung mengemasi barang-barang yang diperlukan, lalu pulang. Dia ikut Bus jurusan Madura. Bus beranjak. Berlari. Kencang. Adapun Furqon, pikirannya sudah sampai di rumah. Memikirkan segalanya. Memikirkan kata-kata untuk diungkapkan kepada orang tuanya. Memikirkan wajah Alfi yang mengintip di balik kerudung biru langitnya. Memikirkan bagaimana seumpama abah Alfi menerima lamaran Kiai Sobir. Ah… hidup ini arus air yang begitu kencang. Kalau kita ingin tetap hidup, kita harus bertahan bahkan harus melawan arus.
Bus terus melaju cepat. Tubuh Furqon kadang terguncang-guncang ketika bus melewati jalan yang berombang. Tiba-tiba, brak…………… Suara benturan terdengar keras sekali. Badan Furqon terpental ke kursi depan. Dia lihat dirinya. Bersimbah darah. Dia lihat sekeliling, juga besimba darah. Dan setelah itu, entah apa yang terjadi. Ingatan furqon hilang bersama darah yang mengalir.
***
Furqon sedikit-sedikit membuka mata. Ada sedikit cahaya menembus matanya. Silau. Alhamdulillah. Furqon sadar. Terdengar suara di sampingnya. Alhamdulillah. Ibu, ibu, ibu, Kang Furqon sadar. Sekejap kemudian, saat Furqon sudah bisa melihat sekitar, sudah begitu banyak orang. Bibi, paman, adik dan ayah ibu. Mereka semua mengelilingi Furqon.
Furqon melihat sekeliling. Dia mencari seseorang. Tidak ada. Matanya sayu. Sedih. Orang itu tidak ada. Kenapa dia tidak menjengoknya.
“Bu, sekarang hari apa?” tanya furqon.
“sabtu nak…” bukan hanya Ibu furqon yang menjawab.
“Hah, udah 4 hari berarti saya di sini.”
“Bukan nak, hampir satu bulan kamu di sini. Sekarang tanggal 25. Kamu tabrakan tanggal 1 Muharram.”
Furqon terkejut. Dia lihat badannya, banyak bekas luka. Bahkan paha kirinya masih dipereban. Furqon teringat ketika di bus sebelum tabrakan, ketika pamit ke kiai, ketika gus mamad memintanya pulangdan ketika cintanya mulai tumbuh kepada Neng Alfi. Bagaimana keadaan Alfi? Apakah dia baik-baik saja? Apakah abahnya menerima lamaran Kiai Sobir? Beribu pertanyaan tentang Alfi menyesakkan dada Furqon.
“Nak, alfi itu siapa?” tanya ibu Furqon ketika mereka hanya berdua. “Waktu tidak sadar, kau sering menyebut nama itu.” Lanjut ibu Furqon.
“Bukan siapa-siapa bu…” kata Furqon tersenyum. Ibu Furqon juga tersenyum seakan faham apa yang terjadi pada anaknya.
***
Suatu ketika, ketika Furqon mendapat dua bulanan di rumah sakit, salah satu temannya datang menjenguk. Terjadi percakapan hangat antara mereka. Makulm, Furqon sudah sembuh meski belum total. Tinggal menunggu persetujuan dari doketer, dia akan pulang. Waktu perbincangan, Furqon melihat undangan di tangan temannya itu. Dia lihat samar nama Alfi. Alfi Rahmah. Furqon menanyakan tentang undangan pernikahan itu pada temannya.
“Oh ini… ini tadi Gus Mamad memberikannya padaku di jalan.”
“Siapanya yang mau nikah?” Tanya Furqon dengan hati getar-getir.
“Gak tahu juga. Kalau di sini tertulis Ali Abdilllah dan Alfi Rahmah.”
Hati Furqon hancur. Langit seakan runtuh. Jantungnya tercabik-cabik oleh kuku cinta yang tak sampai. Ingin sekali dia berteriak. Berteriak sekeras-kerasnya. Melepaskan rasa sakit yang merobek kalbunya. Kadang dia berpikir, dirinya memang tidak pantas untuk Alfi. Dirinya hanya orang biasa. Ilmu yang biasa. Tampang yang biasa. Harta yang biasa. Semuanya serba biasa. Dia hanya hafal al-Qur’an saja. Hanya itu kelebihannya. Alfi? Segalanya dimiliki Alfi. Ilmunya luar biasa. Nasabnya luar biasa. Cantiknya luar biasa. Hartanya luar biasa. Semuanya luar biasa. Memikirkan semua itu, hati Furqon menjadi teduh. Dia rela Neng Alfi mendapatkan pasangan yang lebih baik darinya. Yang lebih bisa membahagiakannya. Mungkin, Neng Alfi memang bukan tulang rusuknya.
Namun, tetap saja air matanya jatuh. Ada rasa sesak di hatinya. Cinta membuatnya begitu rapuh. Dia berusaha menghibur diri. Sebentar. Setelah itu, dia menangis lagi.
“Aku laki-laki. Masih banyak wanita yang bisa ku lamar.” Pekik dalam hatinya. Tetap saja air matanya mengalir. Entahlah. Cinta dan air mata mungkin memang bersaudara. Setiap cinta seakan tak mungkin terlepas dari air mata itu. Dan setiap tetesan air mata terdapat obat rasa sakit yang begitu manjur.
“Besok kamu boleh pulang Fur.” Sapa sang ibu sambil memasuki ruwang rawat Furqon. “Lah, kok kamu nangis?” lanjut ibu Furqon.
“Nggak apa-apa bu, Furqon bahagia aja. Akhirnya bisa pulang.” Kata Furqon berbohong.
“Bu.. aku langsung balik ke pondok saja ya. Takut pelajaran banyak ketinggalan. Sebentar lagi ujian.” Pinta Furqon.
“Tapi…..” belum sampai mengucapkan apa yang ingin di katakana sang ibu, Furqon langsung memotong, “Bu… Please…!!! Aku pengen cepet lulus bu… biar cepet kuliah, cepet nikah. Hehe”
***
“Kamu tega sekali Fur…” Tiba-tiba Gus Mamad bilang seperti itu pada Furqon. Furqon hanya diam. Dia tidak faham apa maksud sahabatnya itu. Keheningan menghiasi kamar pesantren berdinding gedekitu.
“Maksudnya?”
“Kenapa kamu tidak datang? Pengecut kau. Dasar tak tau diuntung. Kau mempermainkan saya dan keluarga saya. Kau juga mempermainkan Alfi. Kalau kamu tidak mau, kenapa dulu bilang ia. Kenapa?. Gara-gara kamu, Alfi nangis terus. Dia jadi menikah karena kmu tidak datang. Abah menerima lamara Kiai Sobir.” Gus Mamad menumpahkan semua kekesalannya. Lalu keluar sambil membanting pintu kamar.
Furqon semakin sedih. Masalah yang menimpanya makin runyam. Dia tidak mengerti dengan semua ini. Dia cepat kembali ke pondok ingin menghilangkan semua rasa sakitnya. Ketika sampai di pondok, rasa sakit itu malah tambah menganga. Rasa sakit karena cinta. Sakit karena merasa dikhianati. Sakit karena disalahkan dan dimarahi. Sakit karena membuat Alfi menangis. Kenapa Alfi menangis? Ah…
Furqon beranjak dari kamarnya. Menuju sawah. Sawah pesantren yang dikelola oleh para santri. Di sana, dia berteriak sekencang-kencangnya. Melepas lara. Melepas sakit. Melepas segalanya. Dia merasa lepas. Meski setelah berteriak, terbelenggu kembali. Allahumma yassir umurana…. Allahumma yassir umurana….
Furqon duduk di atas pondok-pondokan kecil. Bangunan itu biasanya dibuat mangkal anak santri yang menjaga padi. Pandangannya ke depan. Sayu. Dia sama sekali tidak bisa menikmati hijau padi yang menghampar. Dia kembali ke masalahnya. Tentang cintanya yang rumit. Dia tersenyum. Senyuman pahit. Airmatanya meleleh. Sakit. Dia biarkan saja perasaannya mengembara. Dia nikmati sakit itu. Dia nikmati semua yang dia rasakan. “Aku tidak dapat menikmati kebahagiaan, salahkah aku bila menikmati sakit ini?” tukasnya dalam hati. Dia tersenyum lagi. Senyum yang tak dapat di artikan.
***
Tiga bulan kemudian……
“Cak Fur…. Sampeyan dicari Gus Mamad.” Adik kelas Furqon memberi tahu.
“Ia dik… makasih.”
Furqon bertanya-tanya. Kenapa Gus Mamad menanyakan dia. Apa dia ingin marah-marah lagi. Bukankah sudah berbulan-bulan dia membuat jarak dengan dirinya?
“Fur…… “ suara Gus Mamad menyapa. Lembut. Tidak seperti dulu. Waktu Gus Mamad marah-marah.
“Ia…”
“Alfi sakit parah. Kadang dia tidak sadarkan diri.”
“Lo… hubungannya denganku?”
“Alfi sering menyebut namamu. Doketer meminta agar orang yang sering disebut Alfi didatangkan. Abah juga meminta kamu datang.”
Furqon teringat masa lalu yang membuat dirinya rapuh. Teringat pada semua yang terjadi antara dia, Alfi dan Gus Mamad. Mulai dari pandangan sejenak pada Alfi, sampai cinta yang menggunung. Mulai dari dia pulang untuk meng-khitbah, sampai dia dimarahin oleh Gus Mamad. Furqon tidak kuat mengingat semua itu. Dia ingin mengubur masa lalu itu dalam-dalam. Agar tak ada lagi luka. Agar tak ada lagi air mata.
“Maaf, aku tidak bisa.” Jawab Furqon sambil berlau.
“Tapi Fur, ini menyangkut nyawa adikku.” Gus Mamad mengejar Furqon.
“Apa? Nyawa adikmu? Pernahkah kau memikirkan nyawaku? Pernahkan kau menjengokku saat aku sakit karena aku tabrakan? Bukankah kau hanya marah-marah saat aku datang ke pondok ini?” Furqon bernada tinggi. Entahlah kenapa dia bisa begitu. Padahal, teman-temannya mengenalnya ramah dan santun.
Gus Mamad terdiam. Ada kebingungan di wajahnya sehingga dia tak dapat berkata-kata. Furqon pun berlalu. Meninggalkan Gus Mamad dalam perasaannya yang tak menentu. Sejurus kemudian, Gus Mamad berlari mengejar Furqon.
“Fur… Fur… tunggu sebentar Fur….” Furqon berhenti sejenak.
“Apa lagi? Ingin memarahi saya lagi?” suara Furqon tetap tinggi.
“Fur, sepertinya ada yang perlu diluruskan di antara kita. Kamu tabrakan? Saya tidak menjenguk? Kata-kata itu harus kau luruskan. Ceritkanlah. Aku tidak tahu, apa yang terjadi kepadamu. Ceritkanlah. Biar masalah kita selesai.
Mereka berdua pergi ke sawah pesantren. Di sana, Furqon menceritakan apa yang terjadi padanya. Kepulangannya, tabrakannya, sakitnya sehingga harus dirawat di rumah sakit, undangan pernikahan Alfi, kecewanya, serta cinta dan rasa sakitnya. Tanpa terasa, mata Furqon basah. Gus Mamad juga begitu. Gus Mamad pun mengambil tangan Furqon dan menciumnya sambil minta maaf. Minta maaf sedalam-dalamnya. Furqon langsung menarik tangannya. Mereka saling pandang. Dalam. Ada rasa beraduk-aduk di antara mereka.
“Sekarang, biarkan aku bercerita.” Ucap Gus Mamad lirih.
“Setelah saya memintamu pulang untuk meng-khitbah Alfi, aku juga pulang. Aku bilang sama Abah, kamu akan melamar. Abah mengangguk setuju. Sebab, kamu yang lebih dulu melamar. Tapi, sampai beberapa hari bahkan sampai satu bulan, kau tak juga datang. Malah saya mendengar kau bertunangan dengan anak pak lurah. Abahpun menerima lamaran Kiai Sobir. Tanggal pernikahan ditentukan. Dan terjadilah akad nikah Gus Ali Abdillah dan Alfi Rahmah. Namun, ternyata hati Alfi telah memilihmu. Saat mendengar akan dinikahkan dengan Gus Ali, Alfi menangis. Menangis sejadi-jadinya. Saya tahu sendiri. Saya ke kamarnya. Sampai waktu resepsi, dia masih menangis. Hari yang seharusnya bahagia, dia malah terbelenggu oleh cinta yang entah kemana.
Hari pertama, Gus Ali memarahi Alfi. Entahlah apa masalahnya. Yang saya dengar, ketika Alfi tertidur, tiba-tiba dia terbangun sambil menyebut namamu. Dan, terdengar oleh Gus Ali. Gus Ali cemburu. Akhirnya Gus Ali memerahi Alfi. Setelah itu, aku tak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, Alfi sakit-sakitan. Sampai akhirnya, dia jatuh pingsan di teras rumah. Kepalanya terbentur dinding. Akhirnya dia harus dirawat di rumah sakit. Ketika tidak sadar, dia sering menyebut namamu. Oh ia… aku lupa… pada hari kedua dari pernikahan Alfi, Gus Ali meneceraikannya. Dan sekarang Gus Ali sudah menikah lagi.
Furqon tak mampu mendengar cerita itu. Air matanya meleleh. Membasahi pipi dan jenggot tipisnya. Dia pandang Gus Mamad dengan mata penuh makna. Gus Mamad juga memandangnya dengan rasa iba. Mereka pun berpelukan. Bermaaf-maafan. Mereka saling meminta maaf terhadap apa yang terjadi di antara mereka.
Sejurus kemudian, mereka berdua meminta izin ke dalem kiai. Mereka meminta izin pulang. Setelah mendapat izin, mereka bergesa-gesa pulang. Menuju rumah sakit. Menemani Alfi di bawah alam cintanya.
Ahad, 30 Agustus, 2015 M
Posting Komentar