Cerpen | Petang benar-benar sudah mulai menurunkan tabir-tabirnya. Langit tampak menghitam. Lampu-lampu di sepanjang jalan Melati bersinar. Menghiasai jalan. Mubil-mubil, motor-motor dan alat-alat transformasi beragam jenis berseleweran. Membuatku harus melihat kiri-kanan saat ingin menyebrang. Tak ada celah. Aku masih mematung di pinggir jalan. Terus mematung. Sejenak kemudian, tampaklah seorang gadis berjalan di trotowar dari arah selatan. Gadis itu mengenakan hijab lengkap. Baju kurung sampai tumit. Kerudung yang dilengkapi cadar. Praktis yang terlihat hanya kedua matanya. Ya, hanya kedua matanya. Aku berpikir mungkin inilah yang dikatakan hijab syar’i. Aku memalingkan wajahku. Kembali tererfokus pada jalan. Mungkin ada celah. Namun, nihil. Jalan melati benar-benar sesak. Iseng-iseng, aku menoleh ke arah selatan. Tanpa janji, mataku dan mata gadis itu bertemu. Hatiku bergetar kencang. Ada perasaan layu memekar dengan paksa. Tapatapn itu......... Pandangan itu....... Mata itu.... Oh indahnya. Air mataku mengintip ingin tumpah. Gadis itu terus melangkah. Lewat tepat di depanku. Ke utara. Jauh. Hilang ditelan tikungan di ujunga sana. Mata itu.................... Ah.....
***
Pandangan mata itu terus mengusikku. Entahlah siapa pemiliki mata itu. Aku hanya merasakan mata itu pernah lekat dalam hatiku. Membuat hatiku kembali merindu. Ya, begitulah. Kira-kira tiga tahun yang lalu. Saat aku berusia remaja. Namun, sudah mengerti arti sebuah pandangan, arti getaran dan arti sebuah kerinduan.
Berawal dari sebuah pagi. Waktu itu, Jam sudah menjujkkan jam 07:00. Ngaji ke kiai sudah usai. Waktu sarapan untuk mengganjal semangat menjalani kegiatan selanjutnya tiba. Kepala Asrama mengumumkan bahwa piket mengambil nasi pada pagi ini adalah aku. Bibirku mencibir pertanda malas. Namun bagaimanapun, aku harus rela menyisihkan waktuku untuk mengambil nasi ke dapur. Aku ditemani beberapa teman melangkah terpaksa. Memang, santri-santri pondok pesantren Al-Mukminin tidak memasak sendiri. Mereka indekos pada pesantren. Nasi-nasi santri itu di masak di dapur pesantren. Letaknya tepat di utara dalem kiai. Yang memasak nasi-nasi itu adalah santri putri dengan bergiliran. Pengurus Asrama putri menjadwal satu-satu agar santriwati mendapat giliran memasak. Tujuannya, agar santriwati bisa memasak.
Ketika aku sampai di tempat pengambilan nasi, nasi sudah berjejeran siap digotong. Entah karena apa ada seorang gadis keluar dari dapur. Tergesa-gesa. Mencari sesuatu. Mungkin barangnya jatuh saat menyiapkan nasi tadi di ruang pengambilan nasi. Entahlah, tiba-tiba wajahnya mendongak. Matanya dan mataku menyatu. Hatiku bergetar. Sebenatr. Lalu pergi menyisakan ruang aneh di hatiku. Oh, mata yang indah. Astaghfirullah... Kataku lirih. Aku berharap dengan istighfar itu maksiat mataku luntur. Begitulah diriku. Sang pembohong. Ketika memandang gadis bukan mahram, beristighfar. Tapi, tetap saja tak mau ghddul-basar. Tak mau menunduk kalau ada gadis. Dasar mata. Mungkin inilah istighfar yang masih butuh diistighfari. Sebab, istighfarku tak sungguh-sungguh. Bukan dari relung jiwa.
***
Sungguh, pandangan mata itu memukau. Begitu indah untuk kulupakan. Pandangan sayu dan matanya yang dikelilingi celak membuatku tak dapat terpejam. Ada rasa tak biasa di benakku. Namun, aku tepis. Mungkin perasaan biasa. Perasaan seorang laki-laki ketika memandang perempuan. Atau hanya perasaan syahwat saja.
Hari demi hari aku mulai bisa tak mengingatnya. Kalau aku ingat, segera aku menyibukkan diri. Sampai pada suatu ketika, ada acara Manaqiban di masjid Al-Muttaqin. Letaknya tetapt di tengah-tengah pasar kecamatan. Kalau gak salah di pasar pagak. Aku dan santri-santri hadir. Kami menaiki truk yang biasa dibuat mengangkut tebu. Santriwati juga hadir. Bedanya, santriwati menaiki mubil serba tertutup, mini bus. Biasanya, santriwati ditemani neng-neng. Jadi, mereka tak mungkin bermacam-macam. Pada waktu itulah pandangan indah yang mulai rapuh kembali gagah di hatiku. Sebenarnya, aku menyayangkan hal ini. Meski tak dapat dipungkiri aku juga menikmati.
Ceritanya singkat saja. Ketika acara Manaqiban selesai, aku dan salah satu teman karibku mampir di toko ingin beli-beli. Maklumlah, mumpung keluar dari pesantren. Tak lama kemudian, rombongan santriwati lewat di depan toko. Aku menoleh. Terjadilah pandangan tanpa sengaja kedua kalinya. Mataku membujur tepat di mata gadis yang pernah kulihat di daprut pesantren. Seketika gadis itu memalingkan kepalanya. Aku juga. Tapi jujur, aku ingin sekali menolehnya lagi. Aku ingin melihat mata itu lebih lama. Tapi, aku urungkan. Biarlah mata ini merindu.
Sepulang dari acara Manaqiban itu aku benar-benar gelisah. Belajar tak semangat. Ngaji ke kiai tak cekat. Bahkan salat malamku tamat. Kenapa? Adapa dengan diriku? Taulah. Yang aku rasakan aku benar-benar merindu. Rindu pada mata indah yang entah milik siapa. Setiap kali aku mengingatnya, nafasku sedikit tersenggal. Hatiku terasa memikul beban berat. Mungkinkah aku jatuh cinta?
Tingkah lakuku yang sedikit berubah terbaca oleh salah satu temanku. Dia menanyaiku kenapa. Aku menjawab tidak ada apa-apa. Dia terdiam. Keesokannya bertanya lagi. Aku bilang lagi tak mengapa. Keesokannya bertanya lagi. Aku terdiam. Aku pandangi temanku itu. Tampak wajah tulus di sudut matanya. ” Mungkin sudah waktunya curhat.” Pikirku. Lagi pula kata pak guruku kalau ada masalah ceritalah. Mungkin dengan bercerita bisa ditemukan jalan keluar. Tentu saja bukan pada sembarang orang. Harus pada orang yang memiliki rasa kasih sayang, bijak dan baik.
“Aku merindukan sebuah tatapan yang indah.” Kataku. Temanku terbahak-bahak. Dia menganggapku bercanda.
“Sungguh...!” Aku meyakinkan.
“Pandangan siapa?” Temanku mulai percaya.
“Aku tidak tahu. Matanya begitu indah. Pandangannya betul-betul merasuk jiwaku.” Tukasku sambil memandang ke atas.
“Loh, kamu masih waras kan? Masak merindukan tatapan yang kamu sendiri tidak tahu pemiliknya. Aneh.” Katanya. Ah, aku merasa rugi curhat padanya. Bukannya memberi solusi malah memakiku. Sahabat yang tak pengertian. Mengertilah sobat!
“Begitulah” guamamku lirih.
“Coba ceritakan giamana awalnya?” Dia mulai bijaksana.
“Kamu masih ingat sebulan yang lalu? Waktu itu aku dan kamu dapat tugas mengambil nasi.
Ketika ada di tempat pengambilan nasi, ada soerag gadis keluar dari dapur mencari sesuatu. Tanpa sengaja aku memandangnya. Akupun selalu memikirkannya. Kamu masih ingat seminggu yang lalu? Ketika kita ada di dalam toko. Tiba-tiba santriwati lewat. Aku menoleh. Lagi-lagi mataku dan mata gadis itu bertemu. Sekilas. Namun, mampu mencengkeramkan kuku-kuku tajamnya di hatiku.” Ceritaku singkat.
“Oh, gadis di dapur sebulan lalu itu. Namanya Aini. Lengkapnya Nur Aini. Dia adik sepupuku dari ibu. Kalau memang gadis itu yang kamu maksud, santai saja sobat.”
Kata-kata itu mengagetkanku. Aku membelalak. Aku malu. Namun, aku tutupi dengan mengernyitkan dahiku. Aku terdiam. Aku bingung apa yang harus ku katakan. Ternyata, gadis itu sepupu temanku. Dia bernama Aini. Ah, nama yang sangat indah di telingaku. Dalam curhat itu aku dan temanku itu ngobrolin Aini. Dari kecilnya sampai sekarang.
*****
“Buk.... aku ingin melamar seorang gadis. Rumahnya satu kecamatan dengan pondokku.” Kataku via telpon. Ibu tak menjawab. Lama sekali. Yang aku dengar hanya isak tangis. Ibu menangis. Aku bingung. Kenapa mereka menangis?
“Tidak ada gadis yang lebih dekat nak..?” suara ibuku membuyarkan kebingunganku. “Kalau bisa, menikahlah dengan gadis yang tidak terlalu jauh dengan ibu. Ibu tidak mu kehilangan anak satu-satunya” Lanjut ibu.
Suara itu bagai halilintar menyambarku. Aku linglung. Mataku memejam. Aku kecewa. Aku sedih. Aku sakit. Aku.. aku.... aku.... Aku terduduk. Aku diam. Pikiranku berputar-putar. Dunia ini seakan runtuh. Telingaku tak menghiraukan suara ibu yang memanggil-manggil namaku. Tapi, aku berusaha tegar. Aku berdiri lagi. Lalu memaksa telingaku untuk mendengarkan suara ibuku.
“Baiklah ibu.... Aku akan menuruti keinginan ibu.” Ucapku lirih.
Setelah itu, aku merasa hidup ini hampa. Aku tak memiliki gairah hidup. Hari-hariku kujalani dengan keputus-asaan. Tanpa asa. Tanpa cita-cita. Tanpa harapn. Praktis, aku hanya ikut arus. Kemanampun arus membawaku aku tak peduli. Urat nadiku benar-benar tak mampu menggerakkan semangatku. Kesemangatanku benar-benar pudar. Tak tersisa.
“Kamu beda Rul. Kamu bukan Khoirul yang dulu. Mana semangatmu sobat?” ujar temanku.
“Entahlah.” Jawabku enteng.
“Apa karena Aini?”
Aku tatap wajah temanku itu lekat-lekat. Temanku tampak sedih. Mungkin dia melihat mataku yang melas. Atau badanku yang luyu.
“Begitulah.” Ujarku.
“Kan udah aku bilang. Masalah Aini gampang. Dia masih sendiri kok. Memang bulan kemaren ada yang melamar, tapi ditolak. Katanya, Aini ingin suami yang satu pondok. Nah kemaren, ibu Aini kesini mengirim Aini. Aku juga dipanggil. Aku bercerita tentang mu. Tentang tatapanmu. Tentang kegelisahanmu. Ibu Aini pasrah saja. Sedangkan Aini hanya senyum-senyum malu. Aku juga bangga kok andaikan Aini mendapat suami kamu. Aku yakin kamu pasti bisa menjadi imam yang baik.”
“Cinta terlarang sobat.” Sangkalku.
“Maksudmu?”
“Ibuku sedikit tidak setuju. Beliau ingin aku menikah dengan gadis yang tidak terlalu jauh dengan rumahku. Ibu takut kehilanganku. Katanya, aku anak satu-satunya”
Temanku itu terdiam. Sunyi membungkam mulut kami. Tak ada suara. Hanya kekuruyuk ayam malam yang terdengar. Mungkin malaikat sudah turun untuk menyelimuti jagad ini dengan rahmat. Kami terus terdiam. Seakan tak berani membuka pembicaraan. Aku menunduk. Aku lirik wajah sahabatku, layu. Mungkin dia juga merasakan pedihku. Ah, mungkin inilah yang dikatakan sahabat sejati. Suka-susah selalu hadir bersama.
*****
“Terimakasih ibu.” Kataku sambil memeluk ibu. Aku bahagia bukan kepalang. Aku bagai terbang di kebun bunga. Di pagi hari. Bersama embun sejuk, pelangi indah, dan sinar mentari yang kekuning-kuningan. Ayah tersenum manis melihat kelakuanku. Seperti anak kecil. Mungkin begitulah pikir ayahku. Biarsaja. Yang penting aku bahagia. Ibuku memberiku lampu hijau untuk melamar Aini. Kebahagiaan yang tida tara.
Aku pun bertandang menuju pondok Al-Mu’minin. Rencanaku setelah dari pondok mau ke rumah temanku. Mau membicarakan lamaranku. Setelah itu, baru aku akan melamar Aini. Aku haru biru. Aku tak sabar ingin bertemu dengan sahabat karibku yang juga sepupu Aini. Akupun berangkat. Dari pondok langusng ke rumah temanku. Arif namanya.
“Rul, kok gak bilang-bilang kamu mau kesini.” Protes temanku.
“Kalau pake bilang-bilangan itu bukan Khoriul Mufti dong.” Jawabku.
“Dasar kau. Tak pengertian. Kalau datang tiba-tiba begini, aku tak persiapan tauk. Ya jadinya kamarku berantkan.” Desahnya.
“Gak apa-apa. Tu kan memang gayamu” Kataku.
Aku ngobrol ngarlor-ngidul dengan Arif. Tapi aku belum berani untuk membuka tema tentang Aini. Aku malu. Mungkin nanti saja. Tanpa sengaja aku mataku tertuju pada kartu Undangan pernikahan di depan TV. Tampak di Undangan itu nama Aini. Nur Aini dan nama laki-laki di sampingnya. Aku tak begitu menghiraukan. Hatiku bergetar. Benarkah dia Aini pujaanku. Tidak. Itu bukan Aini. Itu orang lain. Aku ambil Undangan itu. Aku lihat dua nama yang terpampang jelas di Undangan itu. benar. Namanya Aini.
“Undangan ini punya Aini ya Rif?” tanyaku dengan suara parau.
Arif diam. Membuat jantungku semakin berdetak kencang. Aku bagai menunnggu hukuman gantung. Getart-getir. Takut. Cemas. Hawatir nama itu benar-benar Aini.
“Oh itu. Itu memang punya Aini.” Tukas Arif.
Oh........ air mataku mengintip. Perasaanku hancur lebur. Hatiku bagai ditusuk paku-paku berkarat. Sakit. Dunia seakan berguncang mengitariku. Kamar Arif bergoyang-goyang menertawaiku. Aini.... pekik hatiku. Kenapa kita harus berjumpa kalau hanya akan menyisakan luka? Kenapa kau tega masuk ke dalam hatiku kalau hanya akan merobek-robeknya? Kenapa?
“Ceritanya panjang Rul. Sebenarnya, Aini mengharapkan lamaranmu. Dia juga terjerat cinta saat dia dan kau bertatapan. Sudah ada lima laki-laki yang melamar. Namun dia tolak. Dia menunngu lamaranmu. Akhirnya, aku bilang kalau kau tak bisa dihaparkan. Cintamu pada dia cinta terlarang. Ibu mu tak setuju. Aini menangis saat mendengar ceritaku ini. Dia tidak keluar kamar selama tiga hari. Dia terus menangis dalam kamar. Sebulan yang lalu, ada pelamar baru yang datang. Dia juga menolak. Katanya masih menunggumu. Tentu, kedua orang tua Aini marah. Mereka tak mau Aini mengharap sesuatu yang belum pasti. Membuang kesempatan yang sudah ada. Tukan memilih butir dan membuang tumpeng. Apa lagi orang yang melamar itu lulusan Pondok Pesantren Darul Mustofa, Yaman.”
Aku tak mampu memendung air mata. Lidahku kelu. Aku hanya mampu terdiam. Oh inikah takdirku? Inikah takdir cintaku? Biarlah. Aku juga bahagia. Pendamping Aini orang berpendidikan. Dia pasti bisa menjadi imam yang baik. Pergilah Aini dengan kepakan sayapmu. Semuga aku mampu melupakan tatapanmu, pandanganmu, dan mata indahmu. Agar aku tak lagi terluka.
Jum’at pagi, 26-2-36 H.
2 komentar